PENGUMUMAN TENTANG KKN TAHUN 2013.
UNTUK SELENGKAPNYA CEK DI sini
TINDAK
PIDANA KHUSUS
SOAL
1. Sampai seberapa jauh suatu putusan
hakum adil dalam mengunakan suatu
indicator yang oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang
dinamakan disparitas pidana (disparity of sentencing). Didalam menangani kasus
narkoba
2 Di
dalam hukum pidana positif Indonesia,
hakim empunyai hak memilih didalam penjatuhan sanksi pidana. Jelaskan (kaji
dalam kasus narkoba)
Jawaban
1. Yang menjadi penentu
dalam menentukan apakah suatu keputusan hakim atau tidaknya adalah pihak mana
yang merasa putusan itu adil dan pihak mana yang merasa putusan tersebut tidak
adil dalam suatu perkara. Adanya perbedan putusan yang dikeluarkan oleh hakim
antara satu dengan yang lainnya dal;am memutuskan suatu perkara yang sama. Hal
ini sreing disebut dengan istilah “disparitas pidana” yang artinya penerapan
pidana ayang berbeda – beda terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap
tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar
pembenaran yang jelas . Selanjutnya tanpa menunjuk legal katagory,disparitas
pidana dapat terjadi pada pemidanaan terhadap mereka yang melakukan bersama
suatu tindak pidana. Disparitas pidana mempunyai dampak pidana yang dalam
yaitu:
v Karena
didalamnya terkandung pertimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan
hak negara untuk menjatuhkan pidana
v Pidana
itu sendiri dalam hal ini harus diartikan sebagai pengenaan penderitaan,yang
dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kekuasaanterhadap seseorang yang telah
melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
v Disparitas
pidana akan berakibat fatal apabila dikaitkan dengan correction administrator
v Terpidana
yang lebih diperbandingkan pidananya dengan dengan terpidana yang lain dan
merasakan ada disparitas, maka ia akan memandang dirinya sebagai korban
yudicial coprice
v Selanjutnya
yang bersangkutan akan sulit dimasyarakatkan dan bahkan tidak menghargai hukum.
v Adanya
suatu indicator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mancapaI suatu
persamaan keadilan di dalam negara hukum sekaligus melemahkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.
v Dispiratas
juga mengandung dampak sisial, masyarakat akan melihat pengadilan pidana
sebagai suatu yang mengecewakan dan hal ini jelas merendahkan martabat dan
wibawa hukum dan penegak hukum.
Didalam kasus narkoba.sering suatu kasus
atau tindak pidana satu dengan yang lainnya berbada dari segi akibat yang di
timbulkannya,dimana suatu putusan sering dianggap adil dimana jika putusan
suatu perkara dapat memenuhi rasa suatu keadilan di dalam masyarakat dimana
suatu putusan sering berbeda satu dengan
yang lainnya karne dilihat tergantung dari bukti-bukti yang ada..itu sebabnya
satu putusan kepada satu delik berbeda
dengan suatu delik yang lainnya.oleh karnannya banyak pertanyaan yg timbul
tentang seberapa besar dampaknya tergantung dari dapatkah masyaakat menerima
keadilan tersebut atau tidak.
Jawaban
2. Hakim dalam hukum
positif di indonesia
mempunyai hak memilih yaitu :
v Jenis
pidana (strafsoor) yang dikehendaki, sehubungandngan penggunaan sistem alternative
dalam pencantuman sanksi pidana dalam KUHP. Dimana sebagian besar
perumusandelik ada disini, ada yang ilhannya dua misalnya pidana penara atau
denda. Ada juga
yang mempunyai tiga pilihan yaitu penjara atau kurungan atau denda.
v Hakim
juga kebebasan untk memilih berat ringannya pidana (starfmaat) yang di jatuhkan
, sebab antara bpemidanaan (straftoemetingstelsel), yang ada hanya menentukan
minimum umumnya,misalnya untuk pidana penjara dan kurungan satu hari( pasal 12
dan18 KUHP). Kemudian maksimum umumnya, misalnya untuk pidana penjara 15 tahun
yang dapat menjadi 20 tahun untuk hal-hal tertentu dan maksimun khususnya yaitu
di anut masing-masing perumusan tindak pidananya. misalnya mencuri maksimum
khusunya 5 tahun (pasal 362 KUHP)
v Selain
itu masih ada kebebasan bagi hakim untuk menuntuksn cara bagaimana pidana
tersebut akan di laksanakan,misalnya dengan menerapkan pasal 14s/d pasal
14f KUHP yang mengatur pidana bersyarat
(voorwaardeelijke veroordeling).Dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut
hakim mempunyai kebebasan bergerak, untuk mendapatkan pidana yang tepat. Yang
menjadi masalah disini adalah kriteriumnya apa? Ternyata dalam KUHP tidak
dijumpai pedoman yang dibuat oleh perundang-undangan yang memuat asas-asas yang
perlu diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana. Yang ada hanya aturan
pemberian pidana.
Efektivitas terhadap terdakwa sehingga
penjatuhan pedana sesuai dengan tujuan dijatuhkan pidana baik itu teori manfaat
atau jera.Dalam kaitkan dalam kasus narkoba hakim dapat menjatuhkan sanksi
pidana dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitas,yaitu mengobati pelaku narkoba
tersebut agar kembali dapat menjalani kehidupan yang layak pada umumnya dan
sanksi pidananya adalah dapat memberikan efek yang jera terhadap pelaku yang
telah melakukan tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatanya .
BAB
I
PENDAHULUAN
I.I
Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang
reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak
dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai
kalangan,baik pemerintah,lembaga perwakilan rakyat,kalangan akademisi, pelaku
ekonomi bahkan masayarakat awam.Semua pihak berbicara dan memberikan komentar
tentang otonomi daerah menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing.
Otonomi
daerah sebenarnya bukanlah merupakan barang baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di republik ini. Bahkan semenjak masa pemerintahan kolonial
Belanda sudah dikenal adanya otonomi daerah diantaranya sebagai diatur dalam
Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie yang lebih
dikenal dengan Decentralisatie Wet 1903.Kemudian semenjak berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang telah banyak undang-undang yang
mengatur otonomi daerah tersebut, diantaranya ; UU 1/1945, UU 22/1948, UU NIT
44/1950, UU 1/1957, Penpres 6/1959, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999,dan yang
terakhir UU 32/2004.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi.
Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten
dan daerah kota.
Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang.
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara
pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah daerah
adalah Gubernur,
Bupati,
atau Walikota,
dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.Kritikan masyarakat terhadap organisasi
pemerintahan pada hakikatnya disebabkan oleh lambannya proses pengambilan keputusan
dan tidak berjalannya fungsi koordinasi.Perkembangan dalam masyarakat justru
sangat membutuhkan organisasi yang melaksanakan keputusan secara responsif,sedangkan
dalam organisasi sentralis asas kerja dalam pelaksanaan otonomi daerah masih
kurang responsif dalam pelaksanaannya.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dipilih
secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Susunan Pemerintah Daerah adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah. Pemerintah
Daerah dapat berupa:
1.Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov) : yang terdiri atas Gubernur
dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
dan Lembaga Teknis Daerah
2.Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) : yang terdiri atas Bupati/Walikota
dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan,
dan Kelurahan.
Setiap daerah
dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala
daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan
untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil
bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah
memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan.Kepala daerah juga
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada masyarakat.
Gubernur yang
karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan
memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk
dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan
pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Wakil pemerintah sebagaimana
dimaksud adalah perangkat pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi.
I.II Rumusan Masalah
Dari
kajian diatas,dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu :
1.Bagaimana
Konsep Otonomi Daerah menurut Undang – Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ?
2.Apa
saja Tugas dan Wewenang gubernur dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
II.I
Konsep Otonomi Daerah Menurut UU
No.32/2004
Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Di Indonesia permasalahan
desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama, penyebaran dan
pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua, penyerasian
perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan
aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua
masalah itu akan berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elit
terhadap desentralisasi. dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
undang -undang No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini menganut paham
pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas
terdapat perbedaan yang mendasar.Secara yuridis yang diartikan dengan
kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil
kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Peraturan Pemerintah No.25
Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3).
Berdasarkan rambu-rambu
penyelenggaraan urusan pemerintahan di atas, maka sulit diingkari, bahwa
dibawah payung UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan sesungguhnya tidak lagi otonom sebagaimana layaknya dibawah
UU No.22 Tahun 1999, melainkan otonomi terkontrol.Ini terutama dikarenakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah daerah propvinsi, Kabupaten dan Kota atau
antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai
suatu sistem pemerintahan.
Dari sisi ini, otonomi seluas-luasnya yang
dianut ternyata adalah otonomi yang tidak luas dalam perspektif tumbuhnya
prakarsa dan inisiatif daerah sendiri. Kebijakan daerah tidak lagi punya
tempat, sekalipun itu hanya urusan lokal atau setempat, yang ada hanya
kebijakan pusat yang harus menjadi acuan bagi setiap pengambilan kebijakan
pemerintahan daerah.
Pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa.
Pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa.
Prinsip-prinsip
pemberian Otonomi Daerah dalam UU No.32 tahun 2004 adalah :
• Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
• Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif,
fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan
konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan
Daerah serta antara Daerah Otonomi daerah kebanyakan dipahami sebagai hak,
wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian
otonomi daerah tersebut lebih mengarah kepada kewajiban dibandingkan sebagai
hak.
Paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan
perundang-undangan mengenai sistem pemerintahan dan pemerintahan daerah khususnya, adalah
tiga dimensi yang bertalian erat satu sama lain, antara ketiganya ini sudah
semenjak tahun 1945 susul menyusul adanya, dalam rangka mencari satu format atau model pemerintahan dan otonomi daerah yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan politik di Indonesia, baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun
global.
Ketidakefektifan
otonomi daerah antara lain disebabkan oleh hal yang masuk tidak terkelola
secara baik,sehingga jasa yang dihasilkan tidak optimal.Aparat daerah kurang
memahami dan memanfaatkan lingkungan nilai-nilai dan sumber daya organisasi
akibat ketidaktanggapan dan kurang sensitifnya aparatur tersebut.Sedangkan
keterbatasan sumber daya aparatur di daerah dapat dilihat dari pendidikan
formal para pejabat struktural yang berperan sebagai pelaku pelaksana otonomi
daerah di lingkungan pemerintah maupun
daerah. Pembangunan di Indonesia saat ini
bersifat sentralis,artinya mengacu kepada pemerintahan pusat.Walaupun memiliki
keunggulan,tetapi juga memiliki kelemahan,karena itu pembangunan secara
sentralis sering kali mendapat kecaman dan kritikan dari berbagai
pihak.Menghadapi kecaman tersebut,beberapa pihak harus sepakat bahwa
pembangunan di Indonesia saat ini harus mengedepankan desentralisasi,dan
desentralisasi tersebut berwujud sebagai pengakuan otonomi daerah.
Agar
tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam mengambil kebijakan pembangunan dan
meningkatan efektifitas otonomi daerah,maka pelaksanaan otonomi daerah perlu
memiliki strategi yang tepat.Untuk memiliki strategi yang tepat,setiap pihak
yang berkaitan dengan otonomi daerah harus memperhatikan fakta,lingkungan,serta
nilai dari sumber daya. Penyelenggaraan
pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk
meningkatkan efektifitas dan efesiensi manajemen pemerintahan daerah dan
pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom.Daerah memiliki kewenangan dan
tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip
keterbukaan,partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Tugas
otonom secara garis besar yaitu mengurangi beban pusat,meningkatkan
efesiensi,mendekatkan layanan masyarakat,sebagai cara membuat daerah maupun masyarakat menjadi
mandiri,Sepanjang proses pemandirian itu,diharapkan kemandirian itu ditandai
dengan mantapnya posisi dan peran daerah yang menciptakan masyarakat
hukum,lingkungan budaya,unit ekonomi.Dilihat dari aspek tersebut,kemandirian
adalah puncak tertinggi budaya otonomi daerah.Tetapi jika daerah dijadikan
sebagai subsistem politik,Maka puncak itu bukan untuk kemandirian saja,tetapi
juga sejauh mana daerah yang bersangkutan member sumbangan terhadap proses
persatuan bangsa.Ilmu hukum berusaha mengkaji kegiatan pemerintahan
daerah,sehingga daerah mampu menunjukkan jati diri,kemandirian,dan jati
dirinya.
Demikian
juga meneliti produk-produk hukum yang memungkinkan pemerintah daerah mampu
menjalankan peran maksimal dalam membantu masyarakat di daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan. Menurut Naisbit (1994),otonomi daerah sarat
mengandung nilai pelimpahan wewenang pengurus sesuai dengan keinginan
masyarakat/pemerintah setempat.Namun di sisi lain terdapat kerja sama yang erat
antar organisasi atau pemerintahan yang bersangkutan dengan lingkungan
eksternalnya secara sinergis. Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan otonomi
dalam berbagai bidang,sesuai dengan rencana pelaksanaan.Dan daerah memiliki
prinsip prinsip yang dihadapkan dengan situasi daerah tersebut.
II.II Tugas dan Wewenang gubernur dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Tugas
dan Wewenang Gubernur dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Undang - Undang
No.32 tahun 2004 pasal 37 :
1.Gubernur
yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintahan di wilayah
Provinsi yang bersangkutan.
2.Dalam
kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden.
Dalam
pasal 38 :
Gubernur
memiliki Tugas Dan Wewenang :
1.Pembinaan
dan Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten / kota.
2.Koordinasi
penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten / kota.
3.Koordinasi
pembinaan dan pngawasan penyelenggaraan negara tugas pembantuan di daerah dan
kabupaten / kota.
4.Pendanaan
tugas dan wewenang gubernur dibebankan kepadan APBN.
5.Kedudukan
dan keuangan Gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
6.Tata
cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Gubernur selaku wakil pemerintah
melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten dan daerah
kota. Gubernur sebagai wakil
pemerintah di daerah pada
dasarnya adalah dalam rangka
pelaksanan asas dekosentrasi, yakni sebagai perekat antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam kedudukannya tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden.Oleh
karena itu, otonomi daerah barulah menjadi fenomena sosial
yang tidak bermasalah jika asas dekosentrari diterima sebagai suatu kenyataan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010
memberikan kewenangan pada gubernur untuk menjatuhkan sanksi bagi bupati/wali
kota.Namun,tidak dapat diartikan gubernur berwenang dapat langsung memberhentikan
bupati/ wali kota karena sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah hanya dapat diberhentikan melalui usulan
DPRD. Gubernur belum bisa (berwenang) langsung memberhentikan bupati/ wali kota
karena tidak diatur dalam undang-undang. Hanya sanksi administrasi seperti
teguran, yang sifatnya mendidik yang bisa diberikan.
BAB
III
PENUTUP
III.I
Kesimpulan
- Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
- Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang -undang No. 32 Tahun 2004.
- Ketidakefektifan otonomi daerah antara lain disebabkan oleh hal yang masuk tidak terkelola secara baik,sehingga jasa yang dihasilkan tidak optimal.Aparat daerah kurang memahami dan memanfaatkan lingkungan nilai-nilai dan sumber daya organisasi akibat ketidaktanggapan dan kurang sensitifnya aparatur tersebut.
- Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan otonomi dalam berbagai bidang,sesuai dengan rencana pelaksanaan.Dan daerah memiliki prinsip prinsip yang dihadapkan dengan situasi daerah tersebut.
- Tugas dan Wewenang Gubernur dalam pelaksanaan Otonomi Daerah diatur dalam Undang - Undang No.32 tahun 2004 pasal 37 dan 38.
- Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah pada dasarnya adalah dalam rangka pelaksanan asas dekosentrasi, yakni sebagai perekat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
III.II Saran
- kegiatan otonomi daerah harus memiliki perwujudan tanggung jawab dalam arti konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,berupa peningkatan serta kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,pengembangan kehidupan demokrasi,keadilan,dan pemerataan,serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Pelaksanaan kegiatan otonomi daerah harus ditunjang oleh individu-individu yang berpendidikan.Dan dibutuhkan kejujuran dari petugas birokrasi dalam melaksanakan kegiatan Otonomi Daerah.
- Gubernur sebagai Kepala Daerah wilayah provinsi harus bersikap transparansi dan tidak bersifat otoriter dalam kegiatan otonomi daerah dan tidak bertentangan dengan Undang – Undang no.32 tahun 2004 pasal 28 .
Written
by Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum
|
Friday,
14 December 2007
|
Pengertian
Dalam Terminologi Hukum
(Rahuhandoko, 1996: 67), istilah ‘argument’ diartikan sebagai berusaha
mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus
Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’
yang berarti menjelaskan. Alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk
mendukung atau menyangkal sesuatu. Dalam logika, diartikan sebagai serangkaian
pernyataan yang disebut premis-premis yang secara logis berkaitan dengan
pernyataan berikutnya yang disebut konklusi. Argumen-argumen dibagi menjadi
dua kategori umum, yaitu deduktif dan induktif.
Dalam Blak’s Law Dictionary (Garner,
1999:102), istilah ‘argument’ diartikan “a statement that attempts
to persuase; esp., the remarks of counsel in alalyzing and pointing out or
repudiating a desired inference, for the assistance of decision-maker. The
act or process of attempting to persuade”. Sedangkan ‘argumentative’,
diartikan sebagai “of or relating to argument or persuasion, stating not
only facts, but also inferances and conclusions drawn from facts (the judge
sustained the prosecutor’s objection to the argumentative question)”.
Dalam Kamus Hukum (Sudarsono,
1992: 36), istilah ‘argumen’ diberikan arti sebagai alasan yang dapat
dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau
gagasan. Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau
menolak alasan masing-masing. Istilah argumentasi, diartikan sebagai
pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau
gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Dalam Kamus Belanda-Indonesia
(Wojowasito, 2001: 45), istilah ‘argument’ diartikan bukti sanggahan,
alasan, perbantahan, dan ‘argumentatie’ diartikan sebagai hal
memberikan alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam ‘Kamus
Inggris-Indonesia’ ditemukan istilah ‘argument’ yang diberikan arti
alasan, perdebatan, bukti, perbantahan, dan ‘argumentation’ diberikan
arti sebagai pemberian alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian
penjelasan, dan argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan
secara jelas untuk memperkuat suatu pendapat.
Dari pengertian-pengertian di
atas, diambil simpulan pengertian ‘argumentasi’ diartikan sebagai,
‘mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas,
berupa serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan
berikutnya yang disebut konklusi, untuk memperkuat atau menolak suatu
pendapat, pendirian atau gagasan’.
Istilah ‘hukum’ dalam makalah ini
dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan sebagai aturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana seyogianya berbuat
atau tidak berbuat agar kepentingan masing-masing terlindungi. Norma
merupakan pandangan objektif masyarakat tentang apa yang seyogyanya diperbuat
atau tidak diperbuat. Pengertian norma hukum meliputi asas hukum, norma hukum
dalam arti sempit atau nilai (value norm) dan peraturan hukum konkret.
Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan merupakan
satu sistem, yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem hukum sebagai
sasaran studi ilmu hukum, karena hukumnya tidak lengkap, sehingga perlu
dicari dan diketemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula caranya mencari
atau menemukan hukum.
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan ‘argumentasi hukum’ dalam makalah ini, yaitu “alasan berupa uraian
penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara
logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan,
berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta
sistem hukum dan penemuan hukum”.
Hukum itu sendiri bagi sebagian
besar sarjana hukum didefinisikan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum
yang mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya. Dikatakan bagi sebagian besar sarjana hukum karena bagi
sebagian sarjana hukum yang lain hukum tidak dilihat sebagai himpunan
peraturan. Sebagian besar sarjana hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara dan
sebagainya) pada umumnya dihadapkan pada peristiwa konkret yang memerlukan
pemecahan, suatu konflik. Untuk memecahkan peristiwa konkret atau konflik itu
dicarikan norma atau hukumnya dan hukumnya terdapat dalam himpunan
peraturan-peraturan hukum.
Dalam mempelajari hukum,
dihadapkan pada pemecahan masalah hukum atau konflik, bagaimana memecahkan
suatu konflik, apa hukum atau hukumannya, siapa yang berhak? Oleh karena
itulah Noll, (Van der Velden, 1988: 21-22) mengatakan bahwa ilmu hukum itu
merupakan ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap). Yang dimaksudkan
bahwa studi hukum itu dilihat dari kaca mata hakim yang mengandung
sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu: berkaitan dengan peristiwa individual;
diterapkannya suatu norma atau kaidah (peraturan hukum); diselesaikannya
suatu konflik.
Di sinilah pentingnya independensi
badan-badan kehakiman/peradilan sebagai salah satu dasar bagi
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law sebagaimana
pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang di cetuskan dalam konferensi International
Commission of Jurists di Bangkok pada 1965. Dalam konferensi ditekankan
pemahaman apa yang disebut sebagai "the dynamic aspects of the Rule
of Law in the modern age" (aspek-aspek dinamika Rule of Law
dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law,
yaitu :
1) Perlindungan Konstitusional;
2) Peradilan atau badan-badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3) Pemilihan Umum yang bebas;
4) Kebebasan menyatakan pendapat;
5) Kebebasan berserikat /
berorganisasi dan beroposisi;
6) Pendidikan kewarganegaraan.
Dari syarat-syarat tersebut jelas
bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok,
yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi
tentang Negara Hukum.
Negara Hukum
Negara Hukum adalah negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum
yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas dasar
sebagai asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan
perilaku pejabat pemerintah. Keberadaan negara hukum menurut J. Van der
Hoeven memprasyaratkan:
a) Prediktabilitas perilaku,
khususnya perilaku pemerintah, yang mengimplikasikan ketertiban demi keamanan
dan ketenteraman bagi setiap orang.
b) Terpenuhinya kebutuhan materiil
minimun bagi kehidupan manusia yang menjamin keberadaan manusia yang
bermartabat manusiawi.
Konsep Negara Hukum di Eropah
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu ‘rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ‘The Rule of Law’.
Menurut Julius Stahl, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu :
¬ Perlindungan hak asasi manusia;
¬ Pembagian kekuasaan;
¬ Pemerintahan berdasarkan
undang-undang;
¬ Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan A.V. Dicey
menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah ‘The Rule of Law’, yaitu :
¬ Supremacy of law, supremasi aturan-aturan hukum,
tidak ada kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power),
dalam arti bahwa seseorang hanya boleh di hukum kalau melanggar hukum;
¬ Equality before the law, kedudukan yang sama dalam
menghadapi hukum, dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat;
¬ Due process of law, terjaminnya hak-hak manusia oleh
undang-undang, serta keputusan-keputusan pengadilan.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey
untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern.
Friedman (Sunarjati,1976: 28),
bahwa kata rule of law dapat dipakai dalam arti formal (in the
formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam
arti formal maka rule of law itu tidak lain artinya sebagai “organized
public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini
setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara) mempunyai
rule of law, sehingga kita dapat berbicara tentang rule of law
dari RRC, Perancis, Jerman, Cekoslovakia, dan sebagainya. Sudah barang
tentu bukan dalam arti formal ini kita pakai rule of law itu, tetapi
dalam arti material. Artinya, dalam arti yang materiel inilah yang menyangkut
ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini,
kita dapat berbicara tentang just atau unjust law.
Dari penjelasan di atas, dapat
diambil pemahaman bahwa konsep rule of law melahirkan konsep negara
kesejahteraan (Welfare State) yang menggambarkan, bahwa hak-hak
kebebasan politik, haruslah disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang
ekonomi, sosial dan kebudayaan. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan
demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat.
Negara Hukum dalam Praktek di Indonesia
Praktek hukum di Indonesia
memperlihatkan situasi yang sangat dipengaruhi oleh positivisme hukum, bahkan
positivisme undang-undang (legisme). Para praktisi hukumnya
dipengaruhi positivisme hukum, sehingga cenderung berpikir positivistik atau
legistik dalam menjalanhan profesinya masing-masing. Dalam pandangan yang
positivistik itu, maka hukum hanyalah apa yang secara eksplisit tercantum
dalam aturan hukum yang sah (perundang-undangan). Akibatnya penggunaan atau
perujukan pada asas hukum dalam memberikan argumentasi suatu pendapat hukum
atau dalam menetapkan putusan hukum kurang mendapat perhatian. Antara lain
disebabkan oleh diabaikannya perujukan pada asas hukum dalam argumentasi
yuridis dalam upaya menerapkan berbagai aturan perundang-undangan yang saling
berkaitan. Maka implementasi konsepsi negara hukum dalam praktek menjadi jauh
dari yang diidealkan (misalnya kasus Tempo pada masa Orde Baru).
Yang terwujud dalam praktek adalah
Negara Hukum formal saja, yang menjauhkan hukum dari keadilan. Memang dalam
masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang mendasar seperti di
Indonesia, maka semua nilai-nilai dan asas hukum yang sangat fundamental
untuk mewujudkan keadilan justru dapat menjauhkan ‘hukum’ dari keadilan atau
kebutuhan hukum riil dari masyarakat yang sesungguhnya (W. Friedmann).
Diabaikannya studi teori
Argumentasi Yuridis (legal reasoning) dalam pendidikan hukum,
memperkuat kecenderungan berpikir positivistik (legalistik) dalam praktek
hukum. Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu
dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan
dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan
atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas
menyangkut aspek psikologi dan aspek biographi.
Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan
dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan. Studi ini menyangkut
kajian logika suatu keputusan. Berkaitan dengan jenis-jenis argumentasi, hubungan
antara reason (pertimbangan, alasan) dan keputusan, serta ketepatan
alasan atau pertimbangan yang mendukung keputusan. (Golding, 1984: 1)
Menyelesaikan masalah hukum secara
yuridis dalam intinya berarti menerapkan aturan hukum positif terhadap
masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat
dilakuhan secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk
menemukan kaidah hukum yang tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan kemasyarakatan
dari pembentukan aturan hukum (teleologikal) yang dikaitkan pada asas hukum
yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai metode interpretasi lainnya
(gramatikal, historikal, sistematikal, sosiologikal). Banyak contoh kasus
hukum yang menggambarkan bahwa cara penalaran hukum yang melibatkan asas
hukum dan tujuan kemasyarakatan aturan hukum terkait sering diabaikan.
Pemecahan Masalah Hukum
Di dalam masyarakat terdapat
banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah sosial itu kita harus
mampu menemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk kemudian dirumuskan
dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah hukum
dari masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum
dan sulit untuk dicari batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah
kesusilaan, masalah agama dan sebagainya. Di sinilah pentingnya kemampuan
untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan masalah hukum (legal problem
identification).
Sebagai contoh konkret dapat
dikemukakan kegiatan Hakim dalam memeriksa perkara. Setelah peristiwa
konkretnya diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi
masing-masing pihak, maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk
dikonstatasi dan sekaligus dirumuskan dan diidentifikasi bahwa benar-benar
telah terjadi peristiwa hukum.
Kalau masalah hukumnya telah
diketemukan dan dirumuskan, masih perlu diketahui masalah hukum itu masalah
hukum bidang apa, hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria, hukum pidana
dan sabagainya. Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana
sering tidak tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan
perbuatan pidana, antara penggelapan dan pencurian.
Setelah diketemukan masalah
hukumnya dengan menggunakan penemuan hukum, maka harus dicari pemecahannya (legal
problem solving). Kalau misalnya sudah diketahui bahwa masalah itu
merupakan utang-piutang, harus dipecahkan siapakah yang bersalah atau
bertanggungjawab dan dicari hukumnya untuk diterapkan. Kalau terjadi
pembunuhan harus dicari siapa pelakunya dan hukumnya untuk diterapkan.
Sehingga dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada peristiwa konkret, kasus
atau konflik yang memerlukan pemecahan dengan mencari hukumnya. Bekal untuk
memecahkan konfik itu adalah pengetahuan tentang norma hukum, sistem hukum
dan penemuan hukum. Setelah pemecahan masalah hukum perlu diberi hukumnya,
haknya atau hukumannya. Dengan kata lain, harus diambil keputusan (decision
making).
Penting mendapatkan perhatian dan
mutlak untuk dikuasai, ialah ‘the power of solving legal problems’, karena
di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana hukum bekerja selalu akan dihadapkan
pada masalah hukum yang harus dipecahkannya. Maka dengan demikian, norma
hukum, sistem hukum dan penemuan hukum, adalah merupakan bekal yang digunakan
dalam memecahkan masalah hukum.
Di samping apa yang telah
dikemukakan di atas, seorang sarjana hukum yang bekerja sesuai dengan
profesinya, terutama dalam penegakan hukum, harus mempunyai sikap ilmiah,
yaitu antara lain jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta
berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau
kritik orang lain dan tidak merasa dirinyalah yang selalu benar, objektif
tidak memihak, tidak bersikap emosional dan a priori terhadap pendapat
orang lain, kritis dan kreatif yang konstruktif.
Argumentasi Hukum dan Logika Hukum
Teori argumentasi mengkaji
bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi secara cepat. Teori
argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu
argurnentasi yang jelas dan rasional. Isu utama adalah kriteria universal dan
kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi
hukum. (Feteris, 1994: 2)
Kata ’logika’ sebagai istilah,
berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan
penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas
mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk
pemikiran yang lain, mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep
(concept), proposisi atau pernyataan (proposition, statement)
dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian
(konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk rnemahami penalaran,
maka ketiga bentuk pemikiran harus dipahami bersama-sama. (Soekadijo, 1985:
3)
Satu dalil yang kuat, satu
argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain
adalah suatu "conditio sine qua non" agar suatu keputusan
dapat diterima, adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan
sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.
(Brouwer, 1982: 32)
Argumentasi hukum merupakan satu
model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang menjadi dasar kekhususan
argumentasi hukum :
1) Tidak ada Hakim atau pun
Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi
hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan
yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan
norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas
yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
2) Kekhususan yang kedua dalam
argumentasi hukum atau penalaran hukum, berkaitan dengan kerangka prosedural,
yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional (drie niveaous van
rationele juridische argumentatie) dan diskusi rasional.
Langkah Pemecahan Masalah Hukum
Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bisa berupa perbuatan,
peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatan hukum, kelahiran adalah
peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan fakta hukum
didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.
Seorang lawyer pertama kali
berhadapan dengan klien harus mendengar paparan klien menyangkut fakta hukum.
Sikap lawyer terhadap klien adalah sikap skeptik dalam rangka mengorek
kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati lawyer
mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara
lengkap. Untuk dapat mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada
ketentuan-ketentuan dan asas hukum yang relevan.
Misalnya, fakta hukum berkaitan
dengan perbuatan melanggar hukum, tentunya lawyer dalam mengajukan
pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW.
Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum
Klasifikasi hakekat permasalahan
hukum pertama-tama berkaitan dengan pembagian hukum positif. Hukum positif
diklasifikasikan atas hukum publik dan hukum privat yang masing-masing
terdiri atas berbagai disiplin. Misalnya, hukum publik terdiri atas Hukum
Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Internasional Publik,
sedangkan hukum privat terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, di samping ada
disiplin fungsional yang memiliki karakter campuran (misalnya, hukum
perburuhan).
Hakekat permasalahan hukum dalam
sistem peradilan, berkaitan dengan lingkungan peradilan yang dalam penanganan
perkaranya berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan.
Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan
Isu hukum berisi pertanyaan
tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta pada
akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung oleh
alat-alat bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali
dengan statute approach, yang kemudian diikuti dengan conseptual
approach. Dengan demikian identifikasi isu hukum berkaitan dengan konsep
hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-elemen
pokok.
Misal malpraktek dokter, apakah
permasalahannya merupakan tindakan wanprestasi ataukah perbuatan melanggar
hukum.
Dalam menganalisa masalah
tersebut, pertama-tama harus dirumuskan isu hukum yang berkaitan dengan
konsep wanprestasi. Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan dalam
unsur-unsur yang lebih kecil. Dengan konsep demikian, analisis atas isu
wanprestasi dilakukan dengan memilah-milah unsur-unsur mutlak wanprestasi,
yaitu :
1) Adakah hubungan kontraktual dalam
hubungan dokter-pasien?
2) Adakah cacat prestasi dalam
tindakan dokter terhadap pasien?
Untuk isu perbuatan melanggar hukum, dapat dirumuskan isu
berikut :
1) Apakah tindakan dokter merupakan
suatu perbuatan hukum?
2) Apakah tindakan dokter merupakan
perbuatan melanggar hukum? Apa kriteria melanggar hukum?
3) Apa kerugian yang diderita pasien?
4) Apakah kerugian itu adalah akibat
langsung perbuatan dokter?
Selanjutnya masing-masing isu
tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta (hubungan dokter-pasien)
dikaitkan dengan hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku. Terhadap
setiap isu yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada
akhirnya ditarik simpulan (opini) terhadap setiap isu. Berdasarkan simpulan
(opini) atas setiap isu, ditarik simpulan atas pokok masalah, yaitu ada
tidaknya wanprestasi dan/atau perbuatan melanggar hukum dalam hubungan
dokter-pasien.
Penemuan Hukum yang Berkaitan Dengan Isu Hukum
Dalam pola civil law system,
hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah dasar pola nalar
yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 Pasal 1 angka 2, bahwa “peraturan perundang-undang adalah produk
hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang,
yang isinya mengikat umum”.
Langkah ini merupakan langkah
pertama yang dikenal sebagai statute approach. Langkah berikutnya
(langkah kedua) adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu
proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma terdiri
atas rangkaian konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami
konsep. Inilah langkah ketiga yang dikenal dengan conceptual approach.
Misalnya norma Pasal 1365 BW,
“setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan yang
menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian”. Dalam norma
tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan, adalah :
Konsep perbuatan
Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan
menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian yang ditimbulkan oleh gempa
bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.
Pertanyaan hukum yang muncul
adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan. Pertanyaan menyusul
adalah hal itu perbuatan siapa, dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa
yang bertanggungjawab.
Konsep melanggar hukum
Harus dimaknai secara jelas
unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata orang berpaling
kepada yurisprudensi. Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam
hal :
. melanggar hak orang lain;
. bertentangan dengan kewajiban
hukumnya;
. melanggar kepatutan;
. melanggar kesusilaan.
Konsep kerugian
Unsur-unsur kerugian meliputi :
. schade, kerusakan yang diderita;
. winst, keuntungan yang diharapkan;
. kosten, biaya yang dikeluarkan.
Dengan contoh di atas, bahwa tidak
cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis langsung diterapkan
pada fakta hukum. Rumusan norma bersifat abstrak dan konsep pendukungnya
dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan
kondisi yang demikian, langkah ketiga seperti dijelaskan di muka, adalah
merupakan langkah penemuan hukum.
Penerapan Hukum
Setelah rnenemukan norma konkret,
langkah berikutnya adalah penerapan pada fakta hukum. Seperti contoh di atas
setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365 BW
dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan hukum, “apakah gempa bumi
merupakan perbuatan?”
Contoh lain, berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur pertama adalah
penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang,
dengan sendirinya sulit dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu
perbuatan atau tindakan merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Salah
konsep mengakibatkan kesalahan mengambil kesimpulan.
Dalam logika dikenal rumus "Ex
Falso Quo Libet". Artinya, dari yang palsu (salah), bisa benar bisa
salah. Faktor kebetulan berperan dalam hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan
dan bahkan muncul penyalahgunaan wewenang baru, misal oleh Jaksa atau, Hakim
atau pun Pengacara.
Dasar Hukum Positif
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka, mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala
campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Merdeka, berarti bebas, maka dengan
demikian kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan.
Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan
hakim, merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana, baik di
negara-negara Eropah maupun di Amerika, Jepang, Indonesia dan lainnya. Yang
dimaksudkan dengan kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat
tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat
Indonesia. Peradilan atau hakim yang bebas, ialah bebas untuk mengadili dan
bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Secara teknis kebebasan hakim
dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, Pancasila, UUD,
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam perkara
perdata, terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Pada dasarnya tidak dapat memutuskan
lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Putusannya
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undangundang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Secara politis dibatasi oleh sistem pemerintahan,
ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dalam menemukan hukum, ditegaskan
dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa “Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi,
agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada, tetapi
masih harus digali, dicari dan diketemukan, kemudian diciptakan. Dikatakan
oleh Scholten, bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat
hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat
atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari
atau menemukannya.
Perbedaan Persepsi Pada Tataran Konsep
Bagaimana Hakim memutus perkara
menjadi sangat penting; karena melalui putusan Hakim para pihak yang
berperkara bisa memperoleh hak yang diperjuangkan dan atau sebaliknya bisa kehilangan
haknya. Jika putusan Hakim tidak adil, maka putusan itu akan mengakibatkan
kerugian moral bagi pihak yang dirugikan, karena putusan itu telah memberikan
stigma kepada orang yang bersangkutan sebagai “pelanggar hukum”. Ada tiga
persoalan yang selalu muncul dalam setiap perkara, yaitu:
a) apa yang sesungguhnya terjadi
(fakta)?
b) hukum apa yang relevan berlaku
dalam kasus demikian (hukum)?
c) jika hukum menolak memberi
kompensasi, apakah hal demikian tidak adil dan jika dianggap tidak adil,
haruskah Hakim mengabaikan hukum demikian dan mengabulkan permohonan ganti
rugi tersebut (hubungan antara modal politik dan ketaatan hukum)?
Antara penegak hukum (Hakim, Jaksa
dan Pengacara) kadangkala berselisih paham tentang patokan apa yang harus
dipergunakan untuk menentukan ‘hukum apa yang relevan bagi suatu kasus’.
Mereka kadangkala tidak sepakat tentang apakah dasar hukum dalam suatu kasus
tertentu telah terpenuhi atau tidak. Perselisihan ini disebut
ketidaksepakatan teoritis tentang hukum dan perbedaan pendapat tentang apa
yang sesungguhnya menjadi konsep hukum berkenaan dengan kompensasi itu,
karena mereka tidak sepakat apakah undang-undang atau putusan Hakim telah
secara tuntas menelaah dasar hukum yang relevan. Perselisihan ini disebut
perselisihan empiris tentang hukum, yaitu perbedaan pendapat tentang
kata-kata apa yang sebenarnya tercantum dalam undang-undang dengan cara sama
mereka tidak sepakat tentang jumlah fakta lain.
Mengapa Perbedaan Pendapat itu Ada
Mentakjubkan bahwa ilmu hukum
tidak memiliki teori yang masuk akal berkenaan dengan sengketa teoritis
tentang konsep negara hukum. Ahli filsafat hukum tentunya sadar bahwa
sengketa teoritis ini bersifat problematis. Sengketa teoritis tentang hukum
tidak lebih dari sekedar ilusi bahwa sebenarnya baik Polisi/Jaksa/Pengacara
maupun Hakim sepakat tentang dasar hukum suatu pandangan diterima sebagai
konsep hukum. Apa yang menjadi hukum hanyalah soal apa yang telah diputuskan
oleh institusi-institusi hukum. Mengapa Hakirn dan Jaksa/Pengacara kadangkala
masih juga tidak sepakat secara teoritis tentang konsep hukum? karena ketika
mereka tampaknya secara teoritis bersengketa tentang apa sebenarnya hukum itu
seharusnya. Persoalan sebenarnya tidak lebih tentang soal moralitas dan
pentaatan cermat, bukan tentang konsep hukum itu sendiri.
Opini populer dalam masyarakat
bahwa Hakim-Hakim dalam mengambil keputusan harus mengikuti hukum ketimbang
mencoba mengembangkan hukum yang sudah ada. Sayangnya ada beberapa Hakim
tidak menerima batasan yang bijak ini dan secara sembunyi-sembunyi atau
justru terang-terangan mereka membengkokkan hukum demi tujuan-tujuan
penguasa atau kepentingan mereka sendiri.
Dari pandangan di atas dapat
diambil simpulan bahwa putusan-putusan institusional tidak hanya sekali-kali,
tetapi setiap kali, tidak jelas atau ambigu atau tidak lengkap, bahkan kadang
putusan-putusan demikian kerap inkonsisten ataupun sekaligus inkoheren,
(dalam kenyataan tidak pernah ada hukum tentang segala apapun, namun hanya
Hakim-Hakim yang membungkus putusan-putusan mereka dengan retorika yang
faktual dipengaruhi oleh preferensi kelas atau ideologis), walaupun di sisi
lain dipahami bahwa pandangan ini akan ditolak dalam pemikiran yang diberikan
kepada kerja para Hakim dan Pengacara dalam praktek mereka sehari-hari.
Apa yang sesungguhnya
dipersengketakan dan kemudian mengkonstruksikan dan mengajukan suatu teori
tentang dasar-dasar yang layak bagi suatu konsep hukum. Praktek hukum
berbeda dari gejala sosial lainnya karena praktisi hukum sifatnya argumentative.
Simpulan
Argumentasi hukum, adalah “alasan
berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian
pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat,
pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan
peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Suatu argumentasi bermakna, hanya
dibangun atas dasar logika, adalah suatu ”conditio sine qua non” agar
suatu keputusan dapat diterima, yakni apabila didasarkan pada proses nalar,
sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam
berargumentasi.
Tidak ada Hakim atau pun
Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi
hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu
keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan
yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan
norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas
yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
Konsep rule of law melahirkan konsep negara
kesejahteraan (welfare state) yang menggambarkan, bahwa hak-hak
kebebasan politik, harus disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi,
sosial dan budaya. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi
formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat. Negara Hukum mempunyai
sifat di mana alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat
kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat
perlengkapannya.
*) Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. adalah Dosen
Fakultas Hukum Univ. Wisnuwardhana Malang.
Referensi :
Benditt, Theodore M., 1978, Law
as Rule and Principle (Problems of Legal Philosophy), California:
Stanford University.
Brouwer, P.W., A. Soeteman, 1982, Logica
en Recht, WEJ. Tjeenk Willink, Zwolle.
Budiardjo, Miriam, 1977,
Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid
in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van Theorieen Over Het
Rechtvaardigen van Juridische Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink,
Zwolle.
Friedmann, W., 1996, Filsafat
Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Garner, Bryan A., 1999, Blak’s
Law Dictionary, Sevent Editions, St. Paul Min.: West Group.
Golding, Martin P., 1984, Legal
Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.
Hartono, CFG Sunaryati, 1976, Apakah
Rule of Law itu ?, Bandung: Alumni.
Rakhmad, Jalaluddin, 1995, Kamus
Filsafat, Jakarta: Rosda Karya.
Ranuhandoko, IPM,1996, Terminologi
Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Rumokoy, Donald A, dalam SF
Marbun, et.al., 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara, Yogyakarta: UII-Press.
Soekadijo, RG., 1985, Logika
Dasar, Tradisional; Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia.
Sudarsono, Kamus Hukum,
1992, Jakarta: Rineka Cipta.
Velden, WG. Van der, 1988, De
ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Lelystad: Koninklijke Vermande.
Wojowasito, S., 2001, Kamus
Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
|
Langganan:
Postingan (Atom)
Cari di Blog ini
Tentang KMFH UNUD
- KMFH UNIVERSITAS UDAYANA
- Denpasar, Bali, Indonesia
- KMFH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA. SEKRETARIAT Jln. Pulau Bali No.1 Denpasar. Telp. (0361) 222666 - 244699
PROKLAMASI
CONTENT DELETED BY VIRUSES AND MALICIOUSWARE