Jumat, 24 Mei 2013

PENGUMUMAN KKN TAHUN 2013

PENGUMUMAN TENTANG KKN TAHUN 2013.
UNTUK SELENGKAPNYA CEK DI sini

TINDAK PIDANA KHUSUS
SOAL
1.      Sampai seberapa jauh suatu putusan hakum  adil dalam mengunakan suatu indicator yang oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang dinamakan disparitas pidana (disparity of sentencing). Didalam menangani kasus narkoba
2        Di dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim empunyai hak memilih didalam penjatuhan sanksi pidana. Jelaskan (kaji dalam kasus narkoba)


Jawaban
1. Yang menjadi penentu dalam menentukan apakah suatu keputusan hakim atau tidaknya adalah pihak mana yang merasa putusan itu adil dan pihak mana yang merasa putusan tersebut tidak adil dalam suatu perkara. Adanya perbedan putusan yang dikeluarkan oleh hakim antara satu dengan yang lainnya dal;am memutuskan suatu perkara yang sama. Hal ini sreing disebut dengan istilah “disparitas pidana” yang artinya penerapan pidana ayang berbeda – beda terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas . Selanjutnya tanpa menunjuk legal katagory,disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana. Disparitas pidana mempunyai dampak pidana yang dalam yaitu:
v  Karena didalamnya terkandung pertimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk menjatuhkan pidana
v  Pidana itu sendiri dalam hal ini harus diartikan sebagai pengenaan penderitaan,yang dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kekuasaanterhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
v  Disparitas pidana akan berakibat fatal apabila dikaitkan dengan correction administrator
v  Terpidana yang lebih diperbandingkan pidananya dengan dengan terpidana yang lain dan merasakan ada disparitas, maka ia akan memandang dirinya sebagai korban yudicial coprice
v  Selanjutnya yang bersangkutan akan sulit dimasyarakatkan dan bahkan tidak menghargai hukum.
v  Adanya suatu indicator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mancapaI suatu persamaan keadilan di dalam negara hukum sekaligus melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.
v  Dispiratas juga mengandung dampak sisial, masyarakat akan melihat pengadilan pidana sebagai suatu yang mengecewakan dan hal ini jelas merendahkan martabat dan wibawa hukum dan penegak hukum.
        Didalam kasus narkoba.sering suatu kasus atau tindak pidana satu dengan yang lainnya berbada dari segi akibat yang di timbulkannya,dimana suatu putusan sering dianggap adil dimana jika putusan suatu perkara dapat memenuhi rasa suatu keadilan di dalam masyarakat dimana suatu putusan sering berbeda satu  dengan yang lainnya karne dilihat tergantung dari bukti-bukti yang ada..itu sebabnya satu putusan kepada satu delik  berbeda dengan suatu delik yang lainnya.oleh karnannya banyak pertanyaan yg timbul tentang seberapa besar dampaknya tergantung dari dapatkah masyaakat menerima keadilan tersebut atau tidak.

Jawaban
2. Hakim dalam hukum positif di indonesia mempunyai hak memilih yaitu :
v  Jenis pidana (strafsoor) yang dikehendaki, sehubungandngan penggunaan sistem alternative dalam pencantuman sanksi pidana dalam KUHP. Dimana sebagian besar perumusandelik ada disini, ada yang ilhannya dua misalnya pidana penara atau denda. Ada juga yang mempunyai tiga pilihan yaitu penjara atau kurungan atau denda.
v  Hakim juga kebebasan untk memilih berat ringannya pidana (starfmaat) yang di jatuhkan , sebab antara bpemidanaan (straftoemetingstelsel), yang ada hanya menentukan minimum umumnya,misalnya untuk pidana penjara dan kurungan satu hari( pasal 12 dan18 KUHP). Kemudian maksimum umumnya, misalnya untuk pidana penjara 15 tahun yang dapat menjadi 20 tahun untuk hal-hal tertentu dan maksimun khususnya yaitu di anut masing-masing perumusan tindak pidananya. misalnya mencuri maksimum khusunya 5 tahun (pasal 362 KUHP)
v  Selain itu masih ada kebebasan bagi hakim untuk menuntuksn cara bagaimana pidana tersebut akan di laksanakan,misalnya dengan menerapkan pasal 14s/d pasal 14f  KUHP  yang mengatur pidana bersyarat (voorwaardeelijke veroordeling).Dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut hakim mempunyai kebebasan bergerak, untuk mendapatkan pidana yang tepat. Yang menjadi masalah disini adalah kriteriumnya apa? Ternyata dalam KUHP tidak dijumpai pedoman yang dibuat oleh perundang-undangan yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana. Yang ada hanya aturan pemberian pidana.
        Efektivitas terhadap terdakwa sehingga penjatuhan pedana sesuai dengan tujuan dijatuhkan pidana baik itu teori manfaat atau jera.Dalam kaitkan dalam kasus narkoba hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitas,yaitu mengobati pelaku narkoba tersebut agar kembali dapat menjalani kehidupan yang layak pada umumnya dan sanksi pidananya adalah dapat memberikan efek yang jera terhadap pelaku yang telah melakukan tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatanya .

BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan,baik pemerintah,lembaga perwakilan rakyat,kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam.Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang otonomi daerah menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing.

 Otonomi daerah sebenarnya bukanlah merupakan barang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di republik ini. Bahkan semenjak masa pemerintahan kolonial Belanda sudah dikenal adanya otonomi daerah diantaranya sebagai diatur dalam Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie yang lebih dikenal dengan Decentralisatie Wet 1903.Kemudian semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang telah banyak undang-undang yang mengatur otonomi daerah tersebut, diantaranya ; UU 1/1945, UU 22/1948, UU NIT 44/1950, UU 1/1957, Penpres 6/1959, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999,dan yang terakhir UU 32/2004.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.Kritikan masyarakat terhadap organisasi pemerintahan pada hakikatnya disebabkan oleh lambannya proses pengambilan keputusan dan tidak berjalannya fungsi koordinasi.Perkembangan dalam masyarakat justru sangat membutuhkan organisasi yang melaksanakan keputusan secara responsif,sedangkan dalam organisasi sentralis asas kerja dalam pelaksanaan otonomi daerah masih kurang responsif  dalam pelaksanaannya.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Susunan Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah. Pemerintah Daerah dapat berupa:
1.Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov) : yang terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah
2.Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) :  yang terdiri atas Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban serta larangan.Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Wakil pemerintah sebagaimana dimaksud adalah perangkat pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi.
I.II Rumusan Masalah
Dari kajian diatas,dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu :
1.Bagaimana Konsep Otonomi Daerah menurut Undang – Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?
2.Apa saja Tugas dan Wewenang gubernur dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ?
BAB II
PEMBAHASAN
II.I  Konsep Otonomi Daerah Menurut UU No.32/2004
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Di Indonesia permasalahan desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama, penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua, penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua masalah itu akan berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elit terhadap desentralisasi. dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat  berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan undang -undang No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini menganut paham pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar.Secara yuridis yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3).
 Berdasarkan rambu-rambu penyelenggaraan urusan pemerintahan di atas, maka sulit diingkari, bahwa dibawah payung UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesungguhnya tidak lagi otonom sebagaimana layaknya dibawah UU No.22 Tahun 1999, melainkan otonomi terkontrol.Ini terutama dikarenakan penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah daerah propvinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.
 Dari sisi ini, otonomi seluas-luasnya yang dianut ternyata adalah otonomi yang tidak luas dalam perspektif tumbuhnya prakarsa dan inisiatif daerah sendiri. Kebijakan daerah tidak lagi punya tempat, sekalipun itu hanya urusan lokal atau setempat, yang ada hanya kebijakan pusat yang harus menjadi acuan bagi setiap pengambilan kebijakan pemerintahan daerah.
Pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU No.32 tahun 2004 adalah :
• Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah Otonomi daerah kebanyakan dipahami sebagai hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian otonomi daerah tersebut lebih mengarah kepada kewajiban dibandingkan sebagai hak.
Paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan mengenai sistem pemerintahan dan pemerintahan daerah khususnya, adalah tiga dimensi yang bertalian erat satu sama lain, antara ketiganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul menyusul adanya, dalam rangka mencari satu format atau model pemerintahan dan otonomi daerah yang sesuai dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia, baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun global.
Ketidakefektifan otonomi daerah antara lain disebabkan oleh hal yang masuk tidak terkelola secara baik,sehingga jasa yang dihasilkan tidak optimal.Aparat daerah kurang memahami dan memanfaatkan lingkungan nilai-nilai dan sumber daya organisasi akibat ketidaktanggapan dan kurang sensitifnya aparatur tersebut.Sedangkan keterbatasan sumber daya aparatur di daerah dapat dilihat dari pendidikan formal para pejabat struktural yang berperan sebagai pelaku pelaksana otonomi daerah di lingkungan pemerintah maupun  daerah. Pembangunan di Indonesia saat ini bersifat sentralis,artinya mengacu kepada pemerintahan pusat.Walaupun memiliki keunggulan,tetapi juga memiliki kelemahan,karena itu pembangunan secara sentralis sering kali mendapat kecaman dan kritikan dari berbagai pihak.Menghadapi kecaman tersebut,beberapa pihak harus sepakat bahwa pembangunan di Indonesia saat ini harus mengedepankan desentralisasi,dan desentralisasi tersebut berwujud sebagai pengakuan otonomi daerah.
Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam mengambil kebijakan pembangunan dan meningkatan efektifitas otonomi daerah,maka pelaksanaan otonomi daerah perlu memiliki strategi yang tepat.Untuk memiliki strategi yang tepat,setiap pihak yang berkaitan dengan otonomi daerah harus memperhatikan fakta,lingkungan,serta nilai dari sumber daya. Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai subsistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi manajemen pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom.Daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Tugas otonom secara garis besar yaitu mengurangi beban pusat,meningkatkan efesiensi,mendekatkan layanan masyarakat,sebagai  cara membuat daerah maupun masyarakat menjadi mandiri,Sepanjang proses pemandirian itu,diharapkan kemandirian itu ditandai dengan mantapnya posisi dan peran daerah yang menciptakan masyarakat hukum,lingkungan budaya,unit ekonomi.Dilihat dari aspek tersebut,kemandirian adalah puncak tertinggi budaya otonomi daerah.Tetapi jika daerah dijadikan sebagai subsistem politik,Maka puncak itu bukan untuk kemandirian saja,tetapi juga sejauh mana daerah yang bersangkutan member sumbangan terhadap proses persatuan bangsa.Ilmu hukum berusaha mengkaji kegiatan pemerintahan daerah,sehingga daerah mampu menunjukkan jati diri,kemandirian,dan jati dirinya.
Demikian juga meneliti produk-produk hukum yang memungkinkan pemerintah daerah mampu menjalankan peran maksimal dalam membantu masyarakat di daerah dalam meningkatkan kesejahteraan. Menurut  Naisbit (1994),otonomi daerah sarat mengandung nilai pelimpahan wewenang pengurus sesuai dengan keinginan masyarakat/pemerintah setempat.Namun di sisi lain terdapat kerja sama yang erat antar organisasi atau pemerintahan yang bersangkutan dengan lingkungan eksternalnya secara sinergis. Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan otonomi dalam berbagai bidang,sesuai dengan rencana pelaksanaan.Dan daerah memiliki prinsip prinsip yang dihadapkan dengan situasi daerah tersebut.
II.II  Tugas dan Wewenang gubernur dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Tugas dan Wewenang Gubernur dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Undang - Undang No.32 tahun 2004 pasal 37 :
1.Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintahan di wilayah Provinsi yang bersangkutan.
2.Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam pasal 38 :
Gubernur memiliki Tugas Dan Wewenang :
1.Pembinaan dan Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten / kota.
2.Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten / kota.
3.Koordinasi pembinaan dan pngawasan penyelenggaraan negara tugas pembantuan di daerah dan kabupaten / kota.
4.Pendanaan tugas dan wewenang gubernur dibebankan kepadan APBN.
5.Kedudukan dan keuangan Gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
6.Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten dan daerah kota. Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah pada dasarnya adalah dalam rangka pelaksanan asas dekosentrasi, yakni sebagai perekat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kedudukannya tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.Oleh karena itu, otonomi daerah barulah menjadi fenomena sosial yang tidak bermasalah jika asas dekosentrari diterima sebagai suatu kenyataan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 memberikan kewenangan pada gubernur untuk menjatuhkan sanksi bagi bupati/wali kota.Namun,tidak dapat diartikan gubernur berwenang dapat langsung memberhentikan bupati/ wali kota karena sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah hanya dapat diberhentikan melalui usulan DPRD. Gubernur belum bisa (berwenang) langsung memberhentikan bupati/ wali kota karena tidak diatur dalam undang-undang. Hanya sanksi administrasi seperti teguran, yang sifatnya mendidik yang bisa diberikan.
BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
  1. Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
  1. Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat  berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang -undang No. 32 Tahun 2004.
  1. Ketidakefektifan otonomi daerah antara lain disebabkan oleh hal yang masuk tidak terkelola secara baik,sehingga jasa yang dihasilkan tidak optimal.Aparat daerah kurang memahami dan memanfaatkan lingkungan nilai-nilai dan sumber daya organisasi akibat ketidaktanggapan dan kurang sensitifnya aparatur tersebut.
  1. Pemerintah dapat melaksanakan kegiatan otonomi dalam berbagai bidang,sesuai dengan rencana pelaksanaan.Dan daerah memiliki prinsip prinsip yang dihadapkan dengan situasi daerah tersebut.
  1. Tugas dan Wewenang Gubernur dalam pelaksanaan Otonomi Daerah diatur dalam Undang - Undang No.32 tahun 2004 pasal 37 dan 38.
  1. Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah pada dasarnya adalah dalam rangka pelaksanan asas dekosentrasi, yakni sebagai perekat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
III.II Saran
  1. kegiatan otonomi daerah  harus memiliki perwujudan tanggung jawab dalam arti konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi,berupa peningkatan serta kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,pengembangan kehidupan demokrasi,keadilan,dan pemerataan,serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  1. Pelaksanaan kegiatan otonomi daerah harus ditunjang oleh individu-individu yang berpendidikan.Dan dibutuhkan kejujuran dari petugas birokrasi dalam melaksanakan kegiatan Otonomi Daerah.
  1. Gubernur sebagai Kepala Daerah wilayah provinsi harus bersikap transparansi dan tidak bersifat otoriter dalam kegiatan otonomi daerah dan tidak bertentangan dengan Undang – Undang no.32 tahun 2004 pasal 28 .

Written by Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum



Friday, 14 December 2007



Pengertian
Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah ‘argument’ diartikan sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan. Alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Dalam logika, diartikan sebagai serangkaian pernyataan yang disebut premis-premis yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi. Argumen-argumen dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu deduktif dan induktif


Dalam Blak’s Law Dictionary (Garner, 1999:102), istilah ‘argument’ diartikan “a statement that attempts to persuase; esp., the remarks of counsel in alalyzing and pointing out or repudiating a desired inference, for the assistance of decision-maker. The act or process of attempting to persuade”. Sedangkan ‘argumentative’, diartikan sebagai “of or relating to argument or persuasion, stating not only facts, but also inferances and conclusions drawn from facts (the judge sustained the prosecutor’s objection to the argumentative question)”.
Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau menolak alasan masing-masing. Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Dalam Kamus Belanda-Indonesia (Wojowasito, 2001: 45), istilah ‘argument’ diartikan bukti sanggahan, alasan, perbantahan, dan ‘argumentatie’ diartikan sebagai hal memberikan alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam ‘Kamus Inggris-Indonesia’ ditemukan istilah ‘argument’ yang diberikan arti alasan, perdebatan, bukti, perbantahan, dan ‘argumentation’ diberikan arti sebagai pemberian alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian penjelasan, dan argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan secara jelas untuk memperkuat suatu pendapat.
Dari pengertian-pengertian di atas, diambil simpulan pengertian ‘argumentasi’ diartikan sebagai, ‘mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan’.
Istilah ‘hukum’ dalam makalah ini dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana seyogianya berbuat atau tidak berbuat agar kepentingan masing-masing terlindungi. Norma merupakan pandangan objektif masyarakat tentang apa yang seyogyanya diperbuat atau tidak diperbuat. Pengertian norma hukum meliputi asas hukum, norma hukum dalam arti sempit atau nilai (value norm) dan peraturan hukum kon­kret. Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sistem, yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem hukum sebagai sasaran studi ilmu hukum, karena hukumnya tidak lengkap, sehingga perlu dicari dan diketemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula caranya mencari atau menemukan hukum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘argumentasi hukum’ dalam makalah ini, yaitu “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas­ hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Hukum itu sendiri bagi sebagian besar sarjana hukum didefinisikan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Dikatakan bagi sebagian besar sarjana hukum karena bagi sebagian sarjana hukum yang lain hukum tidak dilihat sebagai himpunan peraturan. Sebagian besar sarjana hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara dan sebagainya) pada umumnya dihadapkan pada peristiwa konkret yang memerlukan pemecahan, suatu konflik. Untuk memecahkan peristiwa konkret atau konflik itu dicarikan norma atau hukumnya dan hukumnya terdapat dalam himpunan peraturan-peraturan hukum.
Dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada pemecahan masalah hukum atau konflik, bagaimana memecahkan suatu konflik, apa hukum atau hukumannya, siapa yang berhak? Oleh karena itulah Noll, (Van der Velden, 1988: 21-22) mengatakan bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap). Yang dimaksudkan bahwa studi hukum itu dilihat dari kaca mata hakim yang mengandung sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu: berkaitan dengan peristiwa individual; diterapkannya suatu norma atau kaidah (peraturan hukum); diselesaikannya suatu konflik.
Di sinilah pentingnya independensi badan-badan kehakiman/peradilan sebagai salah satu dasar bagi terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang di cetuskan dalam konferensi International Commission of Jurists di Bangkok pada 1965. Dalam konferensi ditekankan pemahaman apa yang disebut sebagai "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age" (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law, yaitu :
1)      Perlindungan Konstitusional;
2)      Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3)      Pemilihan Umum yang bebas;
4)      Kebebasan menyatakan pendapat;
5)      Kebebasan berserikat / berorganisasi dan beroposisi;
6)      Pendidikan kewarganegaraan.

Dari syarat-syarat tersebut jelas bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Negara Hukum
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas dasar sebagai asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah. Keberadaan negara hukum menurut J. Van der Hoeven memprasyaratkan:
a)      Prediktabilitas perilaku, khususnya perilaku pemerintah, yang mengimplikasikan ketertiban demi keamanan dan ketenteraman bagi setiap orang.
b)      Terpenuhinya kebutuhan materiil minimun bagi kehidupan manusia yang menjamin keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi.

Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu ‘rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ‘The Rule of Law’.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu :
¬         Perlindungan hak asasi manusia;
¬         Pembagian kekuasaan;
¬         Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
¬         Peradilan tata usaha negara.
      Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘The Rule of Law’, yaitu :
¬         Supremacy of law, supremasi aturan-aturan hukum, tidak ada kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh di hukum kalau melanggar hukum;
¬         Equality before the law, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat;
¬         Due process of law, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan-keputusan pengadilan.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern.
Friedman (Sunarjati,1976: 28), bahwa kata rule of law dapat dipakai dalam arti formal (in the formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam arti formal maka rule of law itu tidak lain artinya sebagai “organized public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara) mempunyai rule of law, sehingga kita dapat berbicara tentang rule of law dari RRC, Perancis, Jerman, Cekoslovakia, dan sebagainya. Sudah barang tentu bukan dalam arti formal ini kita pakai rule of law itu, tetapi dalam arti material. Artinya, dalam arti yang materiel inilah yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini, kita dapat berbicara tentang just atau unjust law.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa konsep rule of law melahirkan konsep negara kesejahteraan (Welfare State) yang menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan politik, haruslah disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat.

Negara Hukum dalam Praktek di Indonesia
Praktek hukum di Indonesia memperlihatkan situasi yang sangat dipengaruhi oleh positivisme hukum, bahkan positivisme undang-undang (legisme). Para praktisi hukumnya dipengaruhi positivisme hukum, sehingga cenderung berpikir positivistik atau legistik dalam menjalanhan profesinya masing-masing. Dalam pandangan yang positivistik itu, maka hukum hanyalah apa yang secara eksplisit tercantum dalam aturan hukum yang sah (perundang-undangan). Akibatnya penggunaan atau perujukan pada asas hukum dalam memberikan argumentasi suatu pendapat hukum atau dalam menetapkan putusan hukum kurang mendapat perhatian. Antara lain disebabkan oleh diabaikannya perujukan pada asas hukum dalam argumentasi yuridis dalam upaya menerapkan berbagai aturan perundang-undangan yang saling berkaitan. Maka implementasi konsepsi negara hukum dalam praktek menjadi jauh dari yang diidealkan (misalnya kasus Tempo pada masa Orde Baru).
Yang terwujud dalam praktek adalah Negara Hukum formal saja, yang menjauhkan hukum dari keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang mendasar seperti di Indonesia, maka semua nilai-nilai dan asas hukum yang sangat fundamental untuk mewujudkan keadilan justru dapat menjauhkan ‘hukum’ dari keadilan atau kebutuhan hukum riil dari masyarakat yang sesungguhnya (W. Friedmann).
Diabaikannya studi teori Argumentasi Yuridis (legal reasoning) dalam pendidikan hukum, memperkuat kecenderungan berpikir positivistik (legalistik) dalam praktek hukum. Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek psikologi dan aspek biographi.
Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argu­mentasi yang melandasi satu keputusan. Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Berkaitan dengan jenis-jenis argumentasi, hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan keputusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung keputusan. (Golding, 1984: 1)
Menyelesaikan masalah hukum secara yuridis dalam intinya berarti menerapkan aturan hukum positif terhadap masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat dilakuhan secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk menemukan kaidah hukum yang tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan kemasyarakatan dari pembentukan aturan hukum (teleologikal) yang dikaitkan pada asas hukum yang melandasinya dengan melibatkan juga berbagai metode interpretasi lainnya (gramatikal, historikal, sistematikal, sosiologikal). Banyak contoh kasus hukum yang menggambarkan bahwa cara penalaran hukum yang melibatkan asas hukum dan tujuan kemasyarakatan aturan hukum terkait sering diabaikan.

Pemecahan Masalah Hukum
Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah sosial itu kita harus mampu me­nemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk kemudian dirumuskan dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah hukum dari masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit untuk dicari batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama dan sebagainya. Di sinilah pentingnya kemampuan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan masalah hukum (legal problem identification).
Sebagai contoh konkret dapat dikemukakan kegiatan Hakim dalam memeriksa perkara. Setelah peristiwa konkretnya diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi masing-masing pihak, maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi dan sekaligus dirumuskan dan diidentifikasi bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa hukum.
Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, masih perlu diketahui masalah hukum itu masalah hukum bidang apa, hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria, hukum pidana dan sabagainya. Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana sering tidak tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana, antara penggelapan dan pen­curian.
Setelah diketemukan masalah hukumnya dengan menggunakan penemuan hukum, maka harus dicari pemecahannya (legal problem solving). Kalau misalnya sudah diketahui bahwa masalah itu merupakan utang-piutang, harus dipecahkan siapakah yang bersalah atau bertanggungjawab dan dicari hukumnya untuk diterapkan. Kalau ter­jadi pembunuhan harus dicari siapa pelakunya dan hukumnya untuk diterapkan. Sehingga dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada peristiwa konkret, kasus atau konflik yang memerlukan pemecahan dengan mencari hukumnya. Bekal untuk memecahkan konfik itu adalah pengetahuan tentang norma hukum, sistem hukum dan penemuan hukum. Setelah pemecahan masalah hukum perlu diberi hukumnya, hak­nya atau hukumannya. Dengan kata lain, harus diambil keputusan (decision making).
Penting mendapatkan perhatian dan mutlak untuk dikuasai, ialah ‘the power of solving legal problems’, karena di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana hukum bekerja selalu akan di­hadapkan pada masalah hukum yang harus dipecahkannya. Maka dengan demikian, norma hukum, sistem hukum dan penemuan hukum, adalah merupakan bekal yang digunakan dalam memecahkan masalah hukum.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, seorang sarjana hukum yang bekerja sesuai dengan profesinya, terutama dalam penegakan hukum, harus mempunyai sikap ilmiah, yaitu antara lain jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain dan tidak merasa dirinyalah yang selalu benar, objektif tidak memihak, tidak bersikap emosional dan a priori terhadap pen­dapat orang lain, kritis dan kreatif yang konstruktif.

Argumentasi Hukum dan Logika Hukum
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, meru­muskan suatu argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengem­bangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu argurnentasi yang jelas dan rasional. Isu utama adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum. (Feteris, 1994: 2)
Kata ’logika’ sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-­bentuk pemikiran yang lain, mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep (concept), proposisi atau pernya­taan (proposition, statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk rnemahami penalaran, maka ketiga bentuk pemikiran harus dipahami bersama-sama. (Soekadijo, 1985: 3)
Satu dalil yang kuat, satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain adalah suatu "conditio sine qua non" agar suatu keputusan dapat diterima, adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi. (Brouwer, 1982: 32)
Argumentasi hukum merupakan satu model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang menjadi dasar kekhususan argumentasi hukum :
1)      Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkem­bangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menen­tukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
2)      Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum, berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional (drie niveaous van rationele juridische argumentatie) dan diskusi rasional.

Langkah Pemecahan Masalah Hukum
Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah perbuatan hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan. Pengumpulan fakta hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.
Seorang lawyer pertama kali berhadapan dengan klien harus mendengar paparan klien menyangkut fakta hukum. Sikap lawyer terhadap klien adalah sikap skeptik dalam rangka mengorek kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati lawyer mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara lengkap. Untuk dapat mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas hukum yang relevan.
Misalnya, fakta hukum berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, tentunya lawyer dalam mengajukan pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW.

Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum
Klasifikasi hakekat permasalahan hukum pertama-tama ber­kaitan dengan pembagian hukum positif. Hukum positif diklasifi­kasikan atas hukum publik dan hukum privat yang masing-masing terdiri atas berbagai disiplin. Misalnya, hukum publik terdiri atas Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Internasional Publik, sedangkan hukum privat terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, di samping ada disiplin fungsional yang memiliki karakter campuran (misalnya, hukum perburuhan).
Hakekat permasalahan hukum dalam sistem peradilan, berkaitan dengan lingkungan peradilan yang dalam penanganan perkaranya berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan.

Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan
Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta pada akhirnya menyim­pulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung oleh alat-alat bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute approach, yang kemudian diikuti dengan conseptual approach. Dengan demikian identifikasi isu hukum berkaitan dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-elemen pokok.
Misal malpraktek dokter, apakah permasalahannya merupakan tindakan wanprestasi ataukah perbuatan melanggar hukum.
Dalam menganalisa masalah tersebut, pertama-tama harus dirumuskan isu hukum yang berkaitan dengan konsep wanprestasi. Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Dengan konsep demikian, analisis atas isu wanprestasi dilakukan dengan memilah-milah unsur-unsur mutlak wanprestasi, yaitu :
1)      Adakah hubungan kontraktual dalam hubungan dokter-pasien?
2)      Adakah cacat prestasi dalam tindakan dokter terhadap pasien?

Untuk isu perbuatan melanggar hukum, dapat dirumuskan isu berikut :
1)      Apakah tindakan dokter merupakan suatu perbuatan hukum?
2)      Apakah tindakan dokter merupakan perbuatan melanggar hukum? Apa kriteria melanggar hukum?
3)      Apa kerugian yang diderita pasien?
4)      Apakah kerugian itu adalah akibat langsung perbuatan dokter?

Selanjutnya masing-masing isu tersebut dibahas dengan men­dasarkan pada fakta (hubungan dokter-pasien) dikaitkan dengan hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku. Terhadap setiap isu yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada akhirnya ditarik simpulan (opini) terhadap setiap isu. Berdasarkan simpulan (opini) atas setiap isu, ditarik simpulan atas pokok masalah, yaitu ada tidaknya wanprestasi dan/atau perbuatan melanggar hukum dalam hubungan dokter-pasien.

Penemuan Hukum yang Berkaitan Dengan Isu Hukum
Dalam pola civil law system, hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2, bahwa “peraturan perundang-undang adalah produk hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, yang isinya mengikat umum”.
Langkah ini merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statute approach. Langkah berikutnya (langkah kedua) adalah meng­identifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma terdiri atas rangkaian konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami konsep. Inilah langkah ketiga yang dikenal dengan conceptual approach.
Misalnya norma Pasal 1365 BW, “setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian”. Dalam norma tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan, adalah :

Konsep perbuatan
Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian yang ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.
Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan. Pertanyaan menyusul adalah hal itu perbuatan siapa, dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa yang bertanggungjawab.

Konsep melanggar hukum
Harus dimaknai secara jelas unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata orang berpaling kepada yurisprudensi. Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi dalam hal :
.          melanggar hak orang lain;
.          bertentangan dengan kewajiban hukumnya;
.          melanggar kepatutan;
.          melanggar kesusilaan.

Konsep kerugian
Unsur-unsur kerugian meliputi :
.          schade, kerusakan yang diderita;
.          winst, keuntungan yang diharapkan;
.          kosten, biaya yang dikeluarkan.

Dengan contoh di atas, bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang tertulis langsung diterapkan pada fakta hukum. Rumusan norma bersifat abstrak dan konsep pendu­kungnya dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan kondisi yang demikian, langkah ketiga seperti dijelaskan di muka, adalah merupakan langkah penemuan hukum.

Penerapan Hukum
Setelah rnenemukan norma konkret, langkah berikutnya adalah penerapan pada fakta hukum. Seperti contoh di atas setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365 BW dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan hukum, “apakah gempa bumi merupakan perbuatan?”
Contoh lain, berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur pertama adalah penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang, dengan sendirinya sulit dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau tindakan merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Salah konsep mengakibatkan kesalahan mengambil kesimpulan.
Dalam logika dikenal rumus "Ex Falso Quo Libet". Artinya, dari yang palsu (salah), bisa benar bisa salah. Faktor kebetulan berperan dalam hukum, bisa terjadi kesewenang­-wenangan dan bahkan muncul penyalahgunaan wewenang baru, misal oleh Jaksa atau, Hakim atau pun Pengacara.

Dasar Hukum Positif
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan bahwa ke­kuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Merdeka, berarti bebas, maka dengan demikian kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebe­basan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebas­an hakim, merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana, baik di negara-negara Eropah maupun di Amerika, Jepang, Indone­sia dan lainnya. Yang dimaksudkan dengan kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Peradilan atau hakim yang bebas, ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.
Secara teknis kebe­basan hakim dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan, Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam perkara perdata, terikat pada apa yang dike­mukakan oleh para pihak. Pada dasarnya tidak dapat memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Pu­tusannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undang­undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Secara politis dibatasi oleh sistem pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersem­bunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukum­nya itu ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, kemudian diciptakan. Dikatakan oleh Scholten, bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal meng­gali, mencari atau menemukannya.

Perbedaan Persepsi Pada Tataran Konsep
Bagaimana Hakim memutus perkara menjadi sangat penting; karena melalui putusan Hakim para pihak yang berperkara bisa memperoleh hak yang diperjuangkan dan atau sebaliknya bisa kehilangan haknya. Jika putusan Hakim tidak adil, maka putusan itu akan mengakibatkan kerugian moral bagi pihak yang dirugikan, karena putusan itu telah memberikan stigma kepada orang yang bersangkutan sebagai “pelanggar hukum”. Ada tiga persoalan yang selalu muncul dalam setiap perkara, yaitu:
a)      apa yang sesungguhnya terjadi (fakta)?
b)      hukum apa yang relevan berlaku dalam kasus demikian (hukum)?
c)      jika hukum menolak memberi kompensasi, apakah hal demikian tidak adil dan jika dianggap tidak adil, haruskah Hakim mengabaikan hukum demikian dan mengabulkan permohonan ganti rugi tersebut (hubungan antara modal politik dan ketaatan hukum)?

Antara penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Pengacara) kadangkala berselisih paham tentang patokan apa yang harus dipergunakan untuk menentukan ‘hukum apa yang relevan bagi suatu kasus’. Mereka kadangkala tidak sepakat tentang apakah dasar hukum dalam suatu kasus tertentu telah terpenuhi atau tidak. Perselisihan ini disebut ketidaksepakatan teoritis tentang hukum dan perbedaan pendapat tentang apa yang sesungguhnya menjadi konsep hukum berkenaan dengan kompensasi itu, karena mereka tidak sepakat apakah undang-undang atau putusan Hakim telah secara tuntas menelaah dasar hukum yang relevan. Perselisihan ini disebut perselisihan empiris tentang hukum, yaitu perbedaan pendapat tentang kata-kata apa yang sebenarnya tercantum dalam undang-undang dengan cara sama mereka tidak sepakat tentang jumlah fakta lain.

Mengapa Perbedaan Pendapat itu Ada
Mentakjubkan bahwa ilmu hukum tidak memiliki teori yang masuk akal berkenaan dengan sengketa teoritis tentang konsep negara hukum. Ahli filsafat hukum tentunya sadar bahwa sengketa teoritis ini bersifat problematis. Sengketa teoritis tentang hukum tidak lebih dari sekedar ilusi bahwa sebenarnya baik Polisi/Jaksa/Pengacara maupun Hakim sepakat tentang dasar hukum suatu pandangan diterima sebagai konsep hukum. Apa yang menjadi hukum hanyalah soal apa yang telah diputuskan oleh institusi-institusi hukum. Mengapa Hakirn dan Jaksa/Pengacara kadangkala masih juga tidak sepakat secara teoritis tentang konsep hukum? karena ketika mereka tampaknya secara teoritis bersengketa tentang apa sebenarnya hukum itu seharusnya. Persoalan sebenarnya tidak lebih tentang soal moralitas dan pentaatan cermat, bukan tentang konsep hukum itu sendiri.
Opini populer dalam masyarakat bahwa Hakim-Hakim dalam mengambil keputusan harus mengikuti hukum ketimbang mencoba mengembangkan hukum yang sudah ada. Sayangnya ada beberapa Hakim tidak menerima batasan yang bijak ini dan secara sembunyi-sembunyi atau justru terang-terangan mereka membengkokkan hukum demi tujuan­-tujuan penguasa atau kepentingan mereka sendiri.
Dari pandangan di atas dapat diambil simpulan bahwa putusan­-putusan institusional tidak hanya sekali-kali, tetapi setiap kali, tidak jelas atau ambigu atau tidak lengkap, bahkan kadang putusan-putusan demikian kerap inkonsisten ataupun sekaligus inkoheren, (dalam kenyataan tidak pernah ada hukum tentang segala apapun, namun hanya Hakim-Hakim yang membungkus putusan-putusan mereka dengan retorika yang faktual dipengaruhi oleh preferensi kelas atau ideologis), walaupun di sisi lain dipahami bahwa pandangan ini akan ditolak dalam pemikiran yang diberikan kepada kerja para Hakim dan Pengacara dalam praktek mereka sehari-hari.
Apa yang sesungguhnya dipersengketakan dan kemudian mengkonstruksikan dan mengajukan suatu teori tentang dasar­-dasar yang layak bagi suatu konsep hukum. Praktek hukum berbeda dari gejala sosial lainnya karena praktisi hukum sifatnya argumentative.

Simpulan
Argumentasi hukum, adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas­ hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Suatu argumentasi bermakna, hanya dibangun atas dasar logika, adalah suatu ”conditio sine qua non” agar suatu keputusan dapat diterima, yakni apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.
Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkem­bangan yang berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menen­tukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
Konsep rule of law melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan politik, harus disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat. Negara Hukum mempunyai sifat di mana alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan­-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat perlengkapannya. 
*) Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. adalah Dosen Fakultas  Hukum Univ. Wisnuwardhana Malang.

Referensi :
Benditt, Theodore M., 1978, Law as Rule and Principle (Problems of Legal Phi­losophy), California: Stanford Univer­sity.
Brouwer, P.W., A. Soeteman, 1982, Logica en Recht, WEJ. Tjeenk Willink, Zwolle.
Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van Theorieen Over Het Rechtvaardigen van Juridische Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Friedmann, W., 1996, Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Garner, Bryan A., 1999, Blak’s Law Dictionary, Sevent Editions, St. Paul Min.: West Group.
Golding, Martin P., 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.
Hartono, CFG Sunaryati, 1976, Apakah Rule of Law itu ?, Bandung: Alumni.
Rakhmad, Jalaluddin, 1995, Kamus Filsafat, Jakarta: Rosda Karya.
Ranuhandoko, IPM,1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Rumokoy, Donald A, dalam SF Marbun, et.al., 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII-Press.
Soekadijo, RG., 1985, Logika Dasar, Tradisional; Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia.
Sudarsono, Kamus Hukum, 1992, Jakarta: Rineka Cipta.
Velden, WG. Van der, 1988, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Lelystad: Koninklijke Vermande.
Wojowasito, S., 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.