BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan
teknologi. informasi dan komunikasi yang berlangsung hampir di semua
bidang kehidupan. Revolusi yang dihasilkan oleh teknologi informasi dan
komunikasi biasanya dilihat dari sudut pandang Perkembangan teknologi
informasi yang demikian pesatnya haruslah diantisipasi dengan hukum yang
mengaturnya. Dampak negatif tersebut harus diantisipasi dan
ditanggulangi dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi.
Internet merupakan big bang kedua setelah big bang pertama yaitu
material big bang menurut versi Stephen Hawking yang merupakan knowledge
big bang dan ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit
maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada
dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan
diluncurkan.
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku mayarakat dan
peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi
informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan social yang secara signifikan berlangsung demikian
cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena
selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan
dan peradaban manusia, sekaligus menjadi arena efektif perbuatan melawan
hukum.
Secara internasional hukum yang terkait kejahatan teknologi informasi
digunakan istilah hukum siber atau cyber law. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information
technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Sejalan dengan istilah tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan : ”tindak
pidana mayantara”, identik dengan ”tindak pidana di ruang siber (”cyber
space”)” atau yang biasa juga dikenal dengan istilah ”cybercrime”.
Dewasa ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum
cyber atau hukum telematika. Hukum cyber atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum
telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law
yang ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan
teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki
dunia cyber atau maya Pemberlakuan cyber law dikarenakan saat ini mulai
muncul kejahatan – kejahatan yang ada di dunia maya yang sering di sebut
sebagai CyberCrime.
Pengertian Cyberlaw adalah merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh
suatu Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku
kepada masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan
sebagai hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya
diasosiasikan dengan internet. Pengertian Cybercrime adalah tidak
criminal yang dilakkukan dengan menggunakan teknologi computer sebagai
alat kejahatan utama. Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan
perkembangan teknologi computer khusunya internet.
Internet yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya
menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi
di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cyber
crime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran
maupun komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan
kejahatan.
tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu sendiri telah menjadi
komoditi maka upaya untuk melindungi aset tersebut sangat diperlukan.
Salah satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana, baik dengan
bersaranakan penal maupun non penal.
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet,
Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum
yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap
permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan
berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian
materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang –
Undang khusus/cyber law yang mengatur mengenai cyber crime. Tetapi,
terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat
dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang
menggunakan komputer sebagai sarana (Arief,2006,34)
Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang
siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk kategorikan sesuatu dengan
ukuran dalam kualifikasi hukum konvensional untuk dijadikan obyek dan
perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah
kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya
bersifat elektronik. Dengan demikian, subyek pelakunya harus
dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata.
Kebijakan sebagai upaya untuk melindungi informasi membutuhkan suatu
pengkajian yang sangat mendalam, menyangkut aspek sosiologis, filosofis,
yuridis, dan sebagainya. Teknologi informasi sekarang ini sangat
strategis dan berdampak luas terhadap aktifitaskehidupan manusia oleh
karena itu dibutuhkan pengaturan secara khusus dengan dibentuk nya suatu
undang-undang yang dapat menanggulangi kejahatan terhadap teknologi
informasi.
Peraturan terhadap teknologi informasi agar diterima masyarakat harus
mempertimbangkan semua aspirasi (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran
dan aspirasiinternasional) dan berbagai kepentingan harus diselaraskan
dan diserasikan.Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber
pun, berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan
keamanan keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau
cyber law akan bersifat mengikat bagi tiap-tiap individu-individu untuk
tunduk dan mengikuti segala kaidah-kaidah yang terkandung didalamnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian cyber crime dan apakah kebijakan kriminalisasi Cyber Crime ?
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan Cyber Crime di Indonesia?
1.3 Tujuan
3. Untuk mengetahui kejahatan Cyber Crime dan kebijakan kriminalisasi Cyber Crime.
4. Untuk mengetahui Penanggulangan Kejahatan Cyber Crime di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cyber Crime dan Kebijakan Kriminalisasi Cyber Crime
2.1.1 Pengertian Cyber Crime dan Kebijakan Kriminalisasi Cyber Crime
Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang
memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan
perkembangan teknologi internet. Menurut Sutarman (2007) Cyber Crime
adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dengan
menggunakan sarana computer dan alat komunikasi lainya. Cara-cara yang
biasa dilakukan dengan merusak data, mencuri data, dan menggunakannya
secara illegal. cybercrime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul
karena pemanfaatan teknologi internet. Beberapa pendapat
mengindentikkan cybercrime dengan computer crime. The U.S. Department of
Justice memberikan pengertien computer crime sebagai:
“…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”.
Pengertian tersebut identik dengan yang diberikan Organization of
European Community Development, yang mendefinisikan computer crime
sebagai:
“any illegal, unehtical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”.
Adapun Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya “Aspek-aspek Pidana di Bidang komputer”, mengartikan kejahatan komputer sebagai:
”Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”.
Cyberspace sebagai wahana komunikasi yang berbasis computer (computer
mediated communication), banyak menawarkan realitas baru dalam
berinteraksi dalam dunia maya. Adanya interaksi antar pengguna
cyberspace telah banyak terseret ke arah terjadinya penyelewengan
hubungan sosial berupa kejahatan yang khas yang memiliki karakteristik
berbeda dengan tindak pidana konvensional yang selama ini sudah dikenal.
Namun ada juga yang berpandangan bahwa kejahatan melalui internet
(cybercrime) memiliki kesamaan bentuk dengan kejahatan yang ada di dunia
nyata. (Nitibaskara,2001,53)
Belum ada definisi yang seragam mengenai istilah cybercrime, (Arief,
Seminar Nasional Cyber Law, Bandung, 9 April 2001) istilah ini banyak
banyak dipakai terhadap suatu bentuk kejahatan yang berkaitan dengan
dunia virtual dan tindakan kejahatan yang menggunakan sarana komputer.
Jenis aktivitas kejahatan yang berkaitan dengan komputer sangat beragam,
sehingga banyak muncul istilah-istilah baru di antaranya: hacking,
cracking, viruses, booting, troyan horse, spamming dan lain sebagainya.
Kualifikasi kejahatan dunia maya (cybercrime), sebagaimana dikutip Barda
Nawawi Arief, adalah kualifikasi Cybercrime menurut Convention on
Cybercrime 2001 di Budapest Hongaria, yaitu
1. Illegal access: yaitu sengaja memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak.
2. Illegal interception: yaitu sengaja dan tanpa hak mendengar atau
menangkap secara diam-diam pengiriman dan pemancaran data komputer yang
tidak bersifat publik ke,dari atau di dalam sistem komputer dengan
menggunakan alat bantu teknis
3. Data interference: yaitu sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan, perubahan atau penghapusan data komputer.
4. System interference: yaitu sengaja melakukan gangguan atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer.
5. Misuse of Devices: penyalahgunaan perlengkapan komputer, termasuk
program komputer, password komputer, kode masuk (access code)
6. Computer related Forgery: Pemalsuan (dengan sengaja dan tanpa hak
memasukkan mengubah, menghapus data autentik menjadi tidak autentik
dengan maksud digunakan sebagai data autentik)
7. Computer related Fraud: Penipuan (dengan sengaja dan tanpa hak
menyebabkan hilangnya barang/kekayaan orang lain dengan cara memasukkan,
mengubah, menghapus data komputer atau dengan mengganggu berfungsinya
komputer/sistem komputer, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
ekonomi bagi dirinya sendiri atau orang lain).
8. Content-Related Offences:Delik-delik yang berhubungan dengan pornografi anak (child pornography)
9. Offences related to infringements of copyright and related rights Delik-delik yang terkait dengan pelanggaran hak cipta
2.1.2 Kebijakan Kriminalisasi Cyber Crime
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi
suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada
hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan
kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana
(penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum
pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada
suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya
belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan
kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime
sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas,
ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu: (www.google.com
KASUS%20CYBERCRIME/kebijakan-kriminalisasi-dan-penanganan.html/23/4/2012)
1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat
perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah
hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah
terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi
terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime,
tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran
yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh
aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang
berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang.
Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan
cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau
undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai
penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa
perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam
kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian.
Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim
mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk
cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak
membingungkan.
2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi
tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula
dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi
proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus
hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan
ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi
secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang
khusus.
3. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu
harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal
(internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP
yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang
cybercrime. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat ada 21
undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang
yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah
kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi.
Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal
cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan
Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara
lain. Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik dalam RUU PTI, RUU IETE,
RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP. Judge Stenin Schjolberg dan
Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini
diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu
legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan
bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti
dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari
itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan
peradilannya.
4. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak
disinggung dalam buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana.
Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau
bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi
pidana bagi pelakunya. Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak
diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam
jangka waktu tertentu. Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat
ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer
merupakan derita yang berat. Jangan sampai terulang kembali kasus Imam
Samudera – terpidana kasus terorisme Bom Bali I – yang dengan leluasa
menggunakan laptop di dalam selnya.
5. Setelah harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah
melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime
dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan
kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan
yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan
karena ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa
pelaku kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
6. Hal lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet
Service Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung
Internet (Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya
dalam cybercrime cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju
jaringan informasi global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung
tombak untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk
pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti
terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya dibebankan
secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi. Ini akan
memiliki konsekuensi tersendiri.
Tentang kebijakan formulasi, dapat dilakukan dua pendekatan sebagai berikut:
a. Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan
dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP – dengan
diamanemen – dapat dipergunakan untuk menanggulanginya;
b. b. Menganggapnya sebagai kejahatan kategori baru (new category of
crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif
untuk mengatasi sifat khusus teknologi yang sedang berkembang dan
tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa (misalnya masalah
yurisdiksi, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP.
Mardjono lebih jauh berargumen bahwa Indonesia dapat menggunakan kedua
pendekatan tersebut bersama-sama, sebagaimana Amerika Serikat
mempergunakan kedua pendekatan tersebut bersama-sama, misalnya dengan
mengamenden Securities Act 1933 (UU Pasar Modal) dan mengundangkan
Computer Fraud and Abuse Act.
Sebaliknya di Belanda Commissie Franken dalam tahun 1987 dan Kaspersen
menganjurkan pendekatan pertama dan hanya menyempurnakan Wetboek van
Strafrecht (Kasperen, 1990). Commissie Franken merumuskan sembilan
bentuk penyalahgunaan (misbruikvormen):
1. tanpa hak memasuki sistem komputer;
2. tanpa hak mengambil (onderscheppen) data komputer;
3. tanpa hak mengetahui (kennisnemen);
4. tanpa hak menyalin/mengkopi;
5. tanpa hak mengubah;
6. mengambil data;
7. tanpa hak mempergunakan peralatan;
8. sabotase sistem komputer;
9. mengganggu telekomunikasi (Kasperen : 315).
Perumusan Commissie Franken dibuat lebih dari 13 tahun yang lalu.
Sementara ini cyber crime telah mengalami perkembangan yang menakutkan,
karena itu perlu dipelajari bersama dengan saran-saran Konvensi Dewan
Eropa 2000. Namun demikian, dalam usaha kriminalisasi-primair
(menyatakan sebagai delik perbuatan dalam abstracto) sebaiknya kita
berpedoman pada 7 asas yang dikemukakan de Roos (1987), yaitu:
a. masuk akalnya kerugian yang digambarkan;
b. adanya toleransi yang didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggungjawab individu
c. apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain (asas subsidiaritas)
d. ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan (asas proportionalitas)
e. apakah kita dapat merumuskan dengan baik, sehingga kepentingan hukum
yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas
kesalahan – sendi utama hukum pidana;
f. kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif (serta dampaknya pada prevensi umum).
2.2 Penanggulangan Cyber Crime di Indonesia
Cyber crime merupakan suatu perbuatan merugikan orang lain atau instansi
yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem Informasi dan
Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri
maupun orang lain secara materi, maupun hanya untuk sekedar memuaskan
jiwa pelaku atau orang tersebut. Oleh karena itu, maka tindakan atau
perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan dan merupakan perbuatan
melanggar hukum, karena adanya unsur-unsur dimana ada pihak-pihak lain
yang merasa dirugikan oleh perbuatan tersebut. Cyber Crime adalah
merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang secara khusus di diatur
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik.
Dalam upaya-upaya yang dapat dilakukan terkait dengan masalah pembuktian
oleh pengadilan dan penyidikan oleh polri dalam cyber crime dapat
digunakan berbagai macam cara, antara lain dengan mengoptimalkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penyidik dalam Dunia Cyber,
menambahkan dan meningkatkan fasilitas komputer forensik dalam POLRI.
Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik mendeskripsikan bahwa Dokumen
elektronik dan Informasi Elektronik adalah merupakan alat bukti yang
sah. Selain itu dalam pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan alat
bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta
Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Selain deskripsi undang-undang ITE tersebut, dikenal pula alat bukti
digital. tindakan kejahatan tradisional umumnya meninggalkan bukti
kejahatan berupa bukti-bukti fisikal, karena proses dan hasil kejahatan
ini biasanya juga berhubungan dengan benda berwujud nyata. Dalam dunia
komputer dan internet, tindakan kejahatan juga akan melalui proses yang
sama. Proses kejahatan yang dilakukan tersangka terhadap korbannya juga
akan mengandalkan bantuan aspek pendukung dan juga akan saling melakukan
pertukaran atribut ( Yuyun Yulianah, SH, MH ,Pembuktian Tindak Pidana
Cyber Crime,Pustaka Pelajar:Yogyakarta,2005 , halaman 7 ).
Namun dalam kasus ini aspek pendukung, media, dan atribut khas para
pelakunya adalah semua yang berhubungan dengan sistem komputerisasi dan
komunikasi digital. Atribut-atribut khas serta identitas dalam sebuah
proses kejahatan dalam dunia komputer dan internet inilah yang disebut
dengan bukti-bukti digital , diakses tanggal 14 Juni 2012 ).
Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer related crimes
sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa menghimbau
negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan
penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan
langkah-langkah sebagai berikut (Op.cit, Barda Nawawi Arief, Masalah,
hlm. 238-239) :
1. Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana
2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer
3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga masyarakat,
aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan
kejahatan yang berhubungan dengan komputer
4. Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
5. Memperluas rule of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika.
6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan
deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk
mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.
Tidak hanya pendekatan penal dan non-penal yang diperlukan dalam
penanggulangan cyber crime ini, mengingat cyber crime yang dapat
dilakukan oleh orang dengan melalui batas negara, maka perlu dilakukan
kerja sama dengan negara lain. Bentuk kerja sama ini dapat berupa
kerjasama ekstradisi maupun harmonisasi hukum pidana subtantif
sebagaimana terungkap dari hasil Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) X/2000 : “The harmonization of substantive criminal law with
regard to cyber crimes is essential if international cooperation is to
be achieved between law enforcement and the judicial authorities of
different States”. diakses tanggal 17 Juni 2012)
Menurut Agus Raharjo bahwa salah satu langkah lagi agar penanggulangan
cyber crime ini dapat dilakukan dengan baik, maka perlu dilakukan kerja
sama dengan Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet.
Meskipun Internet Service Provider (ISP) hanya berkaitan dengan layanan
sambungan atau akses Internet, tetapi Internet Service Provider (ISP)
memiliki catatan mengenai ke luar atau masuknya seorang pengakses,
sehingga ia sebenarnya dapat mengidentifikasikan siapa yang melakukan
kejahatan dengan melihat log file yang ada.
Tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak ada sistem keamanan
computer yang mampu secara terus menerus melindungi data yang ada di
dalamnya. Para hacker akan terus mencoba untuk menaklukkan sistem
keamanan yang paling canggih, dan merupakan kepuasan tersendiri bagi
hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer orang lain. Langkah
yang baik adalah dengan selalu memutakhirkan sistem keamanan computer
dan melindungi data yang dikirim dengan teknologi yang mutakhir
pula.Faktor penentu lain dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime
dengan sarana non penal adalah persoalan tentang etika. Dalam
berinteraksi dengan orang lain menggunakan internet, diliputi oleh suatu
aturan tertentu yang dinamakan Nettiquette atau etika di internet.
Meskipun belum ada ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika
berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi di dunia nyata (real
life) dapat dipakai sebagai acuan.
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime
padatahun2004,(www.kompas.com/Cyber.Crime..Indonesia.Tertinggi.di.Dunia.html/19/5/2012)
akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak.
Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh
Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian
besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab
mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat
penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata
lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih
lemah.
2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim
sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka
mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan
waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs
KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis
kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya
telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban
enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini
dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik,
factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya
diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan
dan web masternya.
Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat
teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana
untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan
undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi
apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak
memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang
menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya
tujuan pembentukan hukum tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cyber crime merupakan suatu perbuatan merugikan orang lain atau instansi
yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem Informasi dan
Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri
maupun orang lain secara materi, maupun hanya untuk sekedar memuaskan
jiwa pelaku atau orang tersebut. Cyber crime merupakan kejahatan
transnasional dimana kejahatan ini melintasi batas-batas negara dan
dapat memberikan ancaman bagi stabilitas suatu negara dan kawasan bahkan
dunia. Ini dianggap sebagai ancaman keamanan karena kejahatan
transnasional dapat mengancam segala aspek kehidupan termasuk
pembangunan kehidupan sosial kemasyarakatan dalam sebuah negara.
Upaya-upaya yang dilakukan sehubungan dengan masalah pembuktian oleh
pengadilan dan penyidikan oleh polri dalam cyber crime dapat digunakan
berbagai macam cara, antara lain dengan mengoptimalkan Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penyidik dalam Dunia Cyber,
menambahkan dan meningkatkan fasilitas komputer forensik dalam POLRI.
3.2 Saran
Cyber Crime adalah kejahatan dimana tindakan kriminal hanya bisa
dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber dan terjadi di dunia cyber
atau di dunia maya yaitu dengan melalui internet. Upaya penanganan
cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi
informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk
membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Jadi, untuk aparat
penegak hukum harus lebih serius dan jeli serta harus lebih menguasai
serta mendalami kejahatan cybercrime. Keberadaan undang-undang yang
mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti
undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan
atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari
undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan
hukum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya;
Arief, Barda Nawawi,1998 Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti : Bandung
Mansur,Dikdik M. Arief dan Eli Satris Gultom,1987, Cyber Law,Aspek Hukum Teknologi Informasi, Pustaka Tinta Emas:Bandung
Harnad, Steven, Post-Gutenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the
Means of Production of Knowledge, Public-Access Computer System Review 2
(1): 39-53, versi elektronik dapat dibaca pada
Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, RUU Informasi dan Transaksi
Elektronik Sebagai Infrastruktur Fundamental Pengembangan Sisfonas,
Jakarta, 28 Juni 2005.
Yulianah,Yuyun,2005,Pembuktian Tindak Pidana Cyber Crime,Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Moeljanto, Prof. S.H, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara,Jakarta,2005.
Mahayani, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung: Rosda;
Naisbitt, John; Nasibitt, Nana; dan Douglas Philips, 2001, High Tech,
High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi,
Bandung: Mizan, Bandung;
Nitibaskara, Tb. Ronny R., Problem Yuridis Cybercrime, Makalah pada
Seminar tentang Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa,
Bandung, 29 Juli 2000
Raharjo, Agus S.H., M.Hum, Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia, Makalah, 2006
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1986.
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah
Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiolo, Peradaban,Jakarta 2001.
Andi Ahmad Madina,2003, Prospek Penanganan Cyber Crime Dalam
kerangka Kerjasama Keamanan Uni Eropa, Skripsi Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Senin, 15 April 2013
CYBERCRIME DAN PENANGGULANGANNYA DENGAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 DI INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cari di Blog ini
Tentang KMFH UNUD
- KMFH UNIVERSITAS UDAYANA
- Denpasar, Bali, Indonesia
- KMFH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA. SEKRETARIAT Jln. Pulau Bali No.1 Denpasar. Telp. (0361) 222666 - 244699
Blog Archive
-
▼
2013
(106)
-
▼
April
(93)
- MODUL HUKUM LINGKUNGAN : PERATURAN PERUNDANG-UNDA...
- Sejarah Komisi Pemilihan Umum
- Pandangan Politik Yang Sehat
- Penerapan Sistem Politik Di Indonesia
- BAHAN PRESENTASI TENTANG HUKUM BISNIS
- SUMPAH MAHASISWA
- SEJARAH KMFH UNIVERSITAS UDAYANA
- Pembunuhan JFK
- Peristiwa Penting Abad ke-20
- Peristiwa Penting Sekitar Proklamasi Kemerdekaan
- Artikel Tentang Hukum Perusahaan
- HUKUM PERPAJAKAN
- Hukum Perikatan
- Hukum Perijinan
- Penjelasan Singkat Tentang Hak Retensi
- Artikel Tentang Hukum Penitensier
- PRINSIP-PRINSIP POKOK HUKUM INTERNASIONAL
- Paper tentang Hukum Humaniter
- PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA
- Filsafat Hukum
- Delik-delik Khusus
- (Opini) Antara Cinta dan Kekuasaan
- Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat
- Wajah Hukum Indonesia
- Hak Asasi Tersangka Untuk Mendapat Bantuan Hukum D...
- PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REP...
- BAPAS DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
- ARTIKEL TENTANG DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PID...
- REFORMASI SISTEM PERADILAN PIDANA. DALAM RANGKA PE...
- Asas-asas Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
- UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN...
- Contoh Sikap Terbuka dalam Kehidupan Bermasyarakat
- HAKIKAT DEMOKRASI
- Pengertian Perwakilan Diplomatik
- CYBERCRIME DAN PENANGGULANGANNYA DENGAN PENEGAKAN ...
- PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM PAJAK DAERAH
- HUKUM ACARA PTUN dan SUBYEK OBYEKNYA
- HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
- SEJARAH POLITIK INDONESIA
- KOLONIALISME, IMPERIALISME, MERKANTILISME, KAPITAL...
- PERISTIWA-PERISTIWA PENTING DI EROPA SEBAGAI FAKTO...
- MAKALAH TENTANG DEMOKRASI PANCASILA
- APA ITU KOMUNISME?
- Krisis Kepercayaan
- Imperialisme Global
- KOMUNIS DAN PANCASILA
- Fasisme
- PENGERTIAN IDEOLOGI
- Sumber Hukum Internasional
- Karakteristik Masyarakat Madani
- Daftar Istilah dalam Perjanjian Internasional
- Ciri-ciri Umum Budaya Politik di Indonesia
- Jenis Ideologi
- Pengertian Budaya Politik
- Ciri Khas Demokrasi Pancasila
- Macam-Macam Demokrasi
- Ciri-ciri Umum Budaya Politik di Indonesia
- Korupsi Kreatif lawan KPK kreatif.
- Kasus Korupsi Bagai Buku Tua yang Terselip
- KORUPSI BUKAN BUDAYA BANGSA INDONESIA
- Tokoh Kontroversial Negeri Laskar Pelangi
- POLITIK DI INDONESIA SEMAKIN ABU-ABU
- Politik di Indonesia Masih Jauh dari Keberpihakan ...
- PERADILAN DESA part 1
- KUTIPAN KALIMAT DARI SOEKARNO
- PRADILAN DESA part 2
- HUKUM ADAT LANJUTAN
- PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM
- NALAR DAN PENALARAN HUKUM
- SURAT IZIN TEMPAT USAHA
- Surat Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
- CONTOH SURAT IZIN KERAMAIAN
- Contoh Surat PERJANJIAN KONTRAK RUMAH.
- CONTOH SURAT PUTUSAN
- SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
- CONTOH KASUS HUKUM PERDATA
- HUKUM PRIVAT DAN HUKUM PUBLIK
- ASAS-ASAS HUKUM
- UNSUR-UNSUR HUKUM
- BAGAIMANA HUKUM DI INDONESIA...???
- Pengertian Supremasi HUKUM Dan Penegakan HUKUM
- PENGERTIAN HUKUM MENURUT PARA AHLI HUKUM
- ARTIKEL TENTANG FILSAFAT HUKUM
- SEJARAH MIRANDA RULE DAN KAITANYA DALAM KUHAP
- MAKALAH TENTANG PENGANTAR HUKUM INDONESIA
- MAKALAH TENTANG PENGAWASAN BANK INDONESIA SEBAGAI ...
- BEBERAPA KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA
- MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGARA: ANALIS...
- DASAR HUKUM TATA NEGARA
- CONTOH MAKALAH HUKUM TATANEGARA
- CONTOH-CONTOH PEMBAHASAN DALAM HAN DAN HTN
- OPEN SELECTION DEBAT MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2013
- PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT
-
▼
April
(93)
PROKLAMASI
CONTENT DELETED BY VIRUSES AND MALICIOUSWARE
0 komentar:
Posting Komentar