NALAR DAN PENALARAN
HUKUM
Oleh ; Ruslan H.R.
I. Pendahuluan
Beberapa hari terakhir ini, media di Indonesia,
baik cetak maupun eletronik, ramai-ramai memberitakan kasus
penyimpangan yang terjadi di KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam kasus mafia
pemilu tahun 2009, hasil pemilihan daerah Sulawesi Selatan untuk anggota DPR
RI, yang diduga melibatkan salah seorang mantan komisioner di KPU. Seperti
diketahui beberapa waktu lalu yang bersangkutan telah diperiksa selama
kurang lebih 10 jam di kepolisian. Yang menarik dari kasus ini, karena
melibatkan pula beberapa orang karyawan dan bahkan mantan pejabat Mahkamah
Konstitusi. Dasar pemeriksaan itu, antara lain karena adanya rekayasa
surat palsu yang diduga dilakukan oleh oknum tetentu, di mana akibat dari
surat palsu tersebut, disatu sisi menguntungkan seseorang dan pada sisi lain
merugikan orang lain. Mengapa hal ini terjadi ?, kita tidak perlu
mencari kambing hitamnya, tetapi itulah sebuah kenyataan, bahwa
pada suatu saat, akan muncul kebenaran dan pada saatnya pula akan muncul
kebatilan (ketidakbenaran), walaupun semua itu dibingkai dengan spekulasi dan
rekayasa . Dan memang orang-orang Islam ketika berdoa, mereka selalu
bermohon kepada Allah SWT, ”Perlihatkanlah kepada kami apa yang benar dan
perlihatkan pula kepada kami apa yang batil”
Di awal pengumuman KPU hasil perhitungan suara untuk
anggota DPR (Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan 1), dinilai sebagai suatu
kebenaran, tetapi pada akhirnya dibalik semua itu, ternyata muncul
ketidakbenaran (kebatilan), akibat karena terungkapnya ke permukaan ,
adanya rekayasa dan permainan yang diawali dengan terbitnya surat palsu yang
dikirim oleh ”Mahkamah Konstitusi” ke lembaga KPU (Komisi Pemilihan
Umum).
Sebagaimana kita baca di masmedia, ketika Ketua
Mahkamah Konstitusi RI, Mahmud MD, melaporkan Sdr.Nasaruddin ( mantan Bendahara
Partai Demokrat) ke Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, bahwa Sdr. Nasaruddin
telah memberikan sejumlah uang kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi di suatu waktu
dan di sebuah tempat, entah uang apa namanya dan apa maksud dan tujuannya. Sdr.
Ruhut Sitompul (anggota DPR Partai Demokrat) dengan gayanya yang khas, sempat
melakukan kritik
keras terhadap diri Mahfud,MD., Ruhut Sitompul, antara
lain mengatakan ; kenapa Prof.Dr. Mahfud MD melapor ke Presiden,
mengapa tidak melapor ke polisi atau ke KPK. Saya ini Es lilin, beliau
itu S3. Saya ini alumni UNPAD, Mahfud MD, itu alumni UII. Karena Mahfud MD,
tidak menerima pernyataan Si Ruhut Sitompul, maka beliaupun
mengungkapkan, bahwa sebenarnya ada kasus yang sudah dilaporkan ke kepolisian,
tetapi hingga saat ini tidak digubris oleh pihak kepolisian, yaitu kasus
pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang melibatkan oknum di KPU. Akhirnya lembaga
DPR ikut meramaikan kasus ini dan membentuk Panja (Panitia Kerja) mafia
pemilu dan sebaliknya polisi pun tidak mau tinggal diam, karena merasa dirinya
dituduh seolah-olah ada kesengajaan menghilangkan atau
menutup-nutupi kasus ini, mengingat oknum yang diduga terlibat itu adalah
salah seorang pengurus dan petinggi partai demokrat.
Dari klarifikasi beberapa orang yang dipanggil ke DPR
untuk dimintai keterangan, kelihatannya memang ada kejanggalan-kejanggalan dan
tidak masuk akal dalam arti tidak sesuai nalar dan penalaran di persidangan
komisi II DPR itu, termasuk beberapa jawaban dan tanggapan dari
pihak-pihak yang dimintai klarifikasi. Sesuai pemberitaan masmedia, beberapa
orang yang telah dimintai klarifikasi, antara lain ; ZA (mantan panitera Mahkamah
Konstitusi, AN (mantan komisioner KPU), AS (mantan hakim MK) dan DYL (anggota
peserta pemilu Dapil Sul-Sel 1) dan terakhir MH(mantan staf KPU). Dari
jawaban-jawaban mereka, sebagian dari anggota komisi II DPR dapat menangkap dan
mensinyalir bahwa dalam kasus ini, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Mengapa
mereka bisa berkesimpulan seperti itu, karena tentu saja Bapak dan Ibu Yang
Terhormat itu, telah menggunakan nalar dan penalaran serta analogi untuk
menyikapi kasus tersebut.
Penulis kagum dan memberikan apresiasi kepada anggota
komisi II DPR, yang mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang sempat
merepotkan pihak-pihak yang dimintai keterangan. Walaupun harus diakui bahwa
ada saja sekelompok masyarakat yang menyoroti tentang tata cara mereka
melakukan investigasi di persidangan Panja DPR itu, ada yang berpendapat bahwa
anggota komisi II DPR dalam mengajukan pertanyaan, persis sama dengan penyidik
atau penuntut umum, atau malah seperti hakim di persidangan pengadilan. Ini ada
benarnya, karena para wakil rakyat itu merasa perlu untuk menemukan fakta. Dan
fakta yang akan ditemukan di sini adalah fakta biasa, bukan ”fakta hukum”.
Fakta biasa adalah fakta yang bersumber dan diperoleh informasi dari orang lain
yang dianggap mengetahui suatu peristiwa/kejadian, sedangkan fakta hukum adalah
fakta biasa yang telah diuji kebenarannya melalui alat bukti-alat bukti
dalam proses pembuktian di persidangan pengadilan. Mungkin pula mereka
berpenampilan seperti itu disebabkan karena ada anggota DPR, mantan jaksa atau
mantan pengacara dan bahkan ada pula yang mantan hakim.
Bagi penulis, hal itu tidak menjadi persoalan, namun
yang menjadi masalah kalau ada anggota DPR, diam membungkam dan tidak
mengajukan pertanyaan sehubungan dengan kasus tersebut atau mungkin ada anggota
DPR yang mengajukan pertanyaan, tetapi pertanyaannya keluar dari substansi
pokok permasalahan. Akibatnya malah masyarakat mempertanyakan, beginikah wajah
anggota DPR yang kita harapkan ? Bagaimana mungkin anggota DPR bisa
mewakili aspirasi rakyat di perlemen, kalau di persidangan komisi II DPR
saja, ada diantara mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa mengeluarkan
pendapat ataupun saran dan juga tidak bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ?
Anggota DPR sangat diperlukan memiliki kemampuan
berbahasa yang baik (Indonesia dan asing) serta mampu menggunakan nalar dan
penalarannya. Tanpa penggunaan nalar dan penalaran dalam setiap rapat di
perlemen, termasuk di dalamnya pembahasan RUU (Rancangan Undang-Undang),
mustahil akan lahir suatu produk undang-undang di DPR yang
bermutu/berkualitas. Rakyat Indonesia sebagai persentase perwakilannya
di DPR, tidak menghendaki lagi adanya anggota DPR yang kerjanya cuma 7 D,
yaitu ; ”Datang, ”Dongkol”, ”Dendam”, ”Duduk”, ”Dengar”, ”Diam” dan ”Duit”.
Sebagian dari mereka ketika bersidang mampu mengadu
argumentasi, tetapi yang muncul di permukaan bukan mendiskusikan hal-hal yang
substantif, tetapi terjadi debat kusir dan lebih banyak menyerang
pribadi orang lain, sehingga penampilan mereka jauh dari etika politik yang
baik. Ada orang yang berpendapat jauh lebih enak dan menghibur ditonton
perlamen bayangan di Metro-tv daripada menonton anggota DPR di Senayan.
Sehingga ada orang yang bertanya ; apa bedanya antara seorang pelawak
dengan seorang anggota DPR ?. Jawabannya ; pelawak lucunya di atas
panggung hiburan, anggota DPR lucunya di atas panggung politik. Untung saja
pelawak si Komar yang juga anggota DPR itu, lucunya selama ini hanya di atas
panggung hiburan, tetapi tidak pernah melucu di atas panggung politik di
Senayan.
II. Pengertian Nalar dan Penalaran
Nalar, menurut kamus bahasa Indonesia, artinya ; pertimbangan tertentu tentang
baik dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir
logis, jangkauan pikir, kekuatan pikir[1].
Jadi bernalar atau menggunakan penalaran, artinya
berpikir logis. Sedangkan penalaran artinya cara menggunakan nalar atau
pemikiran logis.
Dari pengertian di atas, penulis dapat memberikan contoh konkret yang sering
terjadi dan ditemukan, antara lain ;
- Dalam pengertian aktivitas seseorang berpikir logis.
Contoh ; Hakim
tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama menerbitkan putusan sela, dengan
memerintahkan kepada ; Pengadilan Agama, untuk melakukan pemanggilan kepada
Pembanding dan Terbanding, agar supaya hadir pada persidangan di PTA pada
tanggal 23 Maret 2011, guna dimintai keterangannya. Tetapi pada amar putusan
sela yang lain, memerintahkan pula kepada Pengadilan Agama untuk melakukan
sidang di tempat atas obyek sengketa, yang terletak di daerah Jakarta Selatan,
Bandung, Bogor dan Raha,tanpa menyebutkan ketentuan batas waktu.
Pernyataan ini
sesungguhnya tidak memiliki kandungan nalar dan penalaran yang benar, karena
ada dua hal yang tidak masuk akal, yaitu;
a.
Bagaimana mungkin sidang di PTA digelar yang pada intinya, bertujuan untuk
mengetahui secara jelas dan konkret atas obyek sengketa dengan ketentuan waktu
pada tanggal 23 Maret 2011, sementara memerintahkan pula Pengadilan Agama untuk
melakukan sidang pemeriksaan di tempat tanpa menyebut batas waktu dan
adanya pengiriman berita acara hasil pemeriksaan di tempat tersebut ke PTA.
b.
Apa yang mau diperjelas dan konkret pada persidangan di PTA pada tanggal 23
Maret 2011, sementara pemeriksaan setempat oleh PA di beberapa daerah
belum dilakukan.
- Jangkauan pikir.
Contoh ; Seorang
hakim dengan giatnya membaca dan belajar serta selalu mempersiapkan
referensi buku-buku hukum, jurnal hukum, baik hukum formal maupun hukum
materiil. Bahkan ia sering melakukan diskusi hukum dan juga rajin membaca putusan-putusan
hakim melalui yurisprudensi, sehingga pada saatnya nanti ia berharap akan
menjadi hakim yang lebih berkualitas dan memiliki integritas moral yang baik.
Hakim seperti ini memiliki nalar dan penalaran yang mempersiapkan diri secara
lebih strategis untuk kepentingan tugasnya di masa yang akan datang.
- Kekuatan pikir.
Contoh ; Seorang
hakim yang mengikuti program studi S2 atau S3 dalam setiap kegiatan
seminar di S2 atau dalam setiap kegiatan di ujian terbuka di program S3. Dari
materi ujian promovendus, ia tidak pernah luput dari pengamatannya, baik
melalui diskusi maupun melalui bentuk penulisan karya ilmiah. Pada saat ia
hadir dalam sebuah seminar, ia dengan mudah memahami substansi materi pembahasan
dan berusaha mengajukan tanggapan ataupun pertanyaan yang sangat mudah dipahami
oleh orang lain. Mahasiswa seperti ini memiliki kemampuan nalar dan penalaran
yang baik untuk menunjang kesuksesan program studinya di masa yang akan datang.
- Menggunakan nalar atau pemikiran logis.
Contoh ; Seorang
pejabat perbankan di persidangan pengadilan negeri dan ia bertindak sebagai
saksi, lalu hakim mencecarnya dengan pertanyaan yang beruntun. Lalu
oleh saksi tersebut, menjawab dengan tenangnya bahwa dirinya lupa....,
lupa...., lupa.... dan seterusnya, bahkan kadang saksi tersebut mengatakan
bahwa dirinya tidak tahu. Hakim yang menyidangkan perkara ini harus memiliki
nalar dan penalaran yang baik, bahwa sangat tidak logis, seorang saksi
mengatakan ; lupa, lupa, lupa atau bahkan tidak tahu, padahal ia berkedudukan
sebagai salah seorang subyek hukum dalam perkara ini. Nalarpun berkata, mana
mungkin para terdakwa yang terdiri dari beberapa orang anggota DPR telah
divonis bersalah karena menerima sejumlah uang suap dan telah dijatuhi
hukuman pidana penjara antara satu sampai dua tahun, kalau tidak ada
orang yang memberi suap. Hakim harus membentuk atau membangun sebuah penalaran
terhadap kemungkinan adanya saksi-saksi yang terlibat memberi suap atas kasus
ini.
Contoh-contoh tersebut merupakan sebagian fenomena
umum yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dan di sana
bisa ditemukan bagaimana fungsi dan manfaat nalar dan penalaran itu.
III. Proses Nalar dan Penalaran
Proses nalar merupakan proses berpikir yang sistemik untuk memperoleh
kesimpulan berupa pengetahuan. Dari proses bernalar, maka penalaran dibagi atas
;
- Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus (induksi)
- Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu; menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum (deduktif)[2].
Dalam proses menulis paragraf dapat digunakan
penalaran deduktif dan penalaran induktif. Paragraf deduktif menempatkan
kalimat utama pada awal paragraf. Sedangkan paragraf induktif menempatkan
kalimat utama pada akhir paragraf.
Penalaran juga dapat digunakan untuk membuat analogi.
Sedangkan yang dimaksud dengan analogi adalah kesimpulan tentang kebenaran
suatu gejala, ditarik berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah gejala khusus yang
bersamaan.
Dari isinya analogi dibedakan, atas ;
- Analogi deklaratif, yaitu ; ”Menjelaskan sesuatu yang sudah dikenal berdasarkan persamaannya dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi jenis ini tidak memberikan pengetahuan baru dan tidak merupakan kesimpulan.
Contoh ; Seharum
bunga, seindah warna pelangi.
Adapun analogi deklaratif yang di dalamnya terdapat kesimpulan.
Contoh ; Suami istri di atas mobil. Ketika di dalam mobil, mereka ribut
dengan menggunakan bahasa Inggris dan ketika istri turun dari mobil, ia
menghempaskan pintu mobil dengan kerasnya dan ketika suami masuk rumah, ia
menghempaskan pintu rumahnya dengan keras.
Analogi yang lahir dari kasus ini sebagai bentuk penalaran dan kita bisa
menarik suatu kesimpulan bahwa suami istri itu, sedang dalam kedaan bertengkar
atau telah terjadi perselisihan dan percekcokan.
Analogi seperti ini bisa dijadikan sebagai bukti persangkaan dan merupakan
fakta hukum oleh hakim, bila peristiwa itu telah didukung dengan alat bukti
lainnya, biasanya dengan alat bukti kesaksian dua orang saksi dari pihak yang
mengajukan gugatan.
- Analogi induktif, yaitu menarik kesimpulan tentang fakta yang baru berdasarkan persamaan ciri dengan sesuatu yang sudah pernah terjadi. Kebenaran yang berlaku untuk yang satu (lama) berlaku pula untuk yang lain (baru).
Contoh ; A
meminta kepada B untuk mampir sejenak (transit) di rumahnya, karena
menempuh perjalanan KA. Argo Anggrek, sepanjang malam dari Surabaya ke Jakarta.
Karena sesuai pengalaman yang lalu dalam acara yang sama (Seminar
Nasional), A transit di rumah B tersebut. Lalu dijawab oleh B yang punya rumah
di Jakarta itu. Untuk singgah di rumah boleh-boleh saja, tetapi di rumah
saya saat ini banyak orang, karena anak dan cucu-cucu sedang berlibur di
Jakarta.
Analogi yang bisa kita tarik sebagai suatu kesimpulan, bahwa B sebagai
teman A, tidak berkenan untuk disinggahi transit di rumahnya, walaupun terdapat
persamaan antara peristiwa lama dengan peristiwa baru.
IV. Fungsi Penalaran Dalam Ilmu
Fungsi ilmu, menjelaskan, meramalkan dan
mengendalikan. Untuk dapat meramalkan, seorang ilmuwan terlebih dahulu harus
dapat menjelaskan ; apa, mengapa dan bagaimana memecahkan/mengatasi sebuah
permasalahan yang dihadapi. Sehingga semua itu tentu memerlukan sebuah
penalaran.
Jadi penalaran adalah sarana untuk memecahkan dan menemukan sesuatu yang baru dari sebuah masalah, sehingga kita dapat menarik sebuah kesimpulan.
Jadi penalaran adalah sarana untuk memecahkan dan menemukan sesuatu yang baru dari sebuah masalah, sehingga kita dapat menarik sebuah kesimpulan.
Contoh; Nalar seorang penguji, dengan mengajukan pertanyaan antara lain
kepada promovendus yang sedang menempuh ujian terbuka, bahwa ; data
yang Anda kemukakan dalam disertasi ini, apakah masih sesuai dengan naskah
akademik ? Karena promovendus masih mengemukakan data penelitian dari tahun
1996 s.d 1998 [3].
Promovendus menjawab dengan mengemukakan penalaran, bahwa promovendus
sesungguhnya tidak melakukan penelitian berdasarkan data kuantitatif, tetapi
hanya berdasarkan data kualitatif. Jadi data tahun 1996 s.d 1998, tidak terlalu
besar pengaruhnya terhadap penelitian ini, meskipun tahun ini sudah tahun 2011,
sehingga penelitian masih tetap sesuai dengan naskah akademiki (ilmiah).
Seperti diketahui data kualitatif merupakan data yang tidak berbentuk angka,
tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis
atau bentuk-bentuk non angka lain. Hal yang selalu diingat oleh peneliti
adalah, apapun bentuk analisis yang dilakukan, peneliti wajib memonitor dan
melaporkan proses dan prosedur analisisnya sejujurnya dan selengkap mungkin[4]
Adapun yang dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah
penalaran yang dilakukan sesuai dengan alur atau pola penalaran deduktif yang
rasional dan penalaran induktif yang empiris[5]. Sebuah penalaran ilmiah harus didukung
dengan ; penemuan dan perumusan masalah, penyusunan/perumusan hipotesis,
pengumpulan data, verifikasi dan penarikan kesimpulan[6]
Penalaran juga dapat digunakan dalam membuat
silogisme. Silogisme merupakan sebuah bentuk cara berpikir di mana dua
premis/statemen dihubungkan satu sama lain untuk kemudian sampai pada suatu
kesimpulan.
Contoh ;
a.
Semua cendikiawan adalah manusia pemikir
b.
Semua ahli filsafat adalah cendikiawan
c.
Semua ahli filsafat adalah manusia pemikir.
Kesimpulan di atas terdiri dari tiga term, yaitu ;
mayor, minor dan kesimpulan. Term-term inilah yang disebut proposisi.
Selain itu dikenal pula istilah ”Entimen”, dasarnya adalah
silogisme, tetapi salah satu premis dihilangkan atau tidak diucapkan, karena
sama-sama sudah diketahui.
Contoh ; Menipu adalah dosa, karena merugikan orang
lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal menjadi dua, yaitu ;
a.
Menipu adalah dosa
b.
Menipu merugikan orang lain.
Beberpa contoh lain yang penulis dapat kemukakan
sebagai berikut ;
- Bagi seorang guru, sebaiknya memiliki nalar mengupayakan latihan intelektual untuk mengembangkan akal budi anak didik
- Bagi seorang advokat, memiliki nalar bagaimana cara membela kepentingan klinnya di persidangan
- Bagi seorang ekonom, memiliki nalar bagaimana negara memiliki sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia dan alam untuk meningkatkan efesiensi, daya guna dan kemaksmuran.
- Bagi seorang ilmuwan, memiliki nalar merancang metode dan percobaan untuk memeriksa hipotesis
- Bagi seorang politikus, memiliki nalar untuk saling menerima dan memberi pendapat untuk membangun sebuah kebersamaan demi kepentingan bangsa dan negara.
- Bagi seorang hakim, memiliki nalar untuk membuat reasoning pertimbangan hukum yang alur dan sistimatis serta menerapkan hukum dengan amar putusan yang tepat dan benar.
V. Beberapa Kekeliruan Dalam Penalaran
Dalam sebuah penalaran tidak selalu tepat dan
kemungkinan terjadi kekeliruan. Kekeliruan yang biasa terjadi dapat dilihat
dalam bentuk ;
a.
Suatu kesesatan logis, yaitu penalaran yang tidak mengikuti atau melanggar
aturan-aturan penyimpulan.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ;
Obyek harta waris ”X” tidak pernah disebutkan dan disengketakan dalam perkara
waris antara penggugat dan tergugat
Amar putusan ; Hakim,
menetapkan obyek harta waris ”X” adalah budel waris dari almarhum ”A”
b.
Suatu argumen yang tidak terarah dalam arti bahwa argumen itu tidak tepat,
tetapi dapat meyakinkan orang-orang mengenai ketepatannya.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ;
Hakim tidak menemukan alat bukti kesaksian saksi-saksi yang melihat, mendengar
atau mengalami adanya perselisihan dan percekcokan antara penggugat dan
tergugat.
Amar putusan ; Hakim menjatuhkan talak satu bain sugra tergugat terhadap
penggugat .
c.
Suatu argumen yang cacat, karena tidak betul, tidak tepat, keliru dan salah, di
mana kesimpulan tidak dibenarkan oleh pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.
Contoh ;
Pertimbangan hukum ;
Hakim mempertimbangkan tentang ketidakbenaran pelaksanaan perkawinan antara
penggugat dan tergugat, sehingga perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Amar putusan ; Hakim
menjatuhkan amar putusan ; membatalkan Akta nikah antara penggugat dan
tergugat.
Kesimpulan hakim di
sini keliru dan tidak tepat, karena ;
a.
Pertimbangan hukumnya adalah ”batalnya perkawinan”
b.
Amar putusannya ”batalnya Akta nikah”
Kedua substansi ini
berbeda. Batal perkawinan adalah kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan batal
Akta nikah bukan kewenangan Pengadilan Agama.
VI. Macam-macam Kekeliruan Dalam Penalaran
1.
Kekeliruan amfiboli ; kekeliruan yang terjadi bila kalimat-kalimat seseorang
memungkinkan kata-katanya ditafsir lebih dari satu arti.
Contoh ; “Marzuki
Alie kacau dalam berwacana”
Ada dua tafsir yang
mungkin timbul dari kalimat di atas, yaitu ;
a.
Yang kacau adalah Marzuki Alie atau
b.
Yang kacau adalah wacana Marzuki Alie.
2.
Kekeliruan aksen ; kekeliruan yang terjadi bila perkataan dibiarkan berubah
artinya selama argumen berlangsung sebagai akibat derajat tekanan yang
diberikan.
Contoh ;
”Jangan-jangan dia salah paham”.
Penalaran bisa
terjadi tetapi belum tentu benar.
3.
Kekeliruan ekuivokari ; kekeliruan yang dilakukan bila suatu kata digunakan
pertama dalam satu arti dan kemudian dalam arti lain selama argumen
berlangsung, yang memungkinkan sebuah kesimpulan yang sebetulnya tidak mungkin.
Contoh ; ”Bintek
(Bimbingan Teknis) yang saya peroleh di pelatihan hakim, sebaiknya digunakan
pula untuk pembinaan administrasi umum”.
Dua analogi yang
tidak mungkin akan terjadi, yaitu ;
a.
Bintek ; menyangkut administrasi perkara dan administrasi peradilan
b.
Binum ; menyangkut administrasi umum, kepegawaian dan keuangan
4.
Kekeliruan komposisi ; kekeliruan yang dilakukan bila kita bernalar dari
sifat-sifat bagian dari suatu keseluruhan ke sifat-sifat keseluruhan itu
sendiri tanpa suatu kualifikasi.
Contoh ; ”Waluyo
selaku panitera pengganti, selalu bekerja atas dasar petunjuk panitera
Pengadilan Agama Jakarta Barat ; karyawan lainnya memang tak pernah bekerja
dengan otaknya sendiri”.
Nalar kita
berkata bahwa Waluyo juga adalah karyawan, maka pasti ia tidak bekerja
dengan otaknya sendiri. Tetapi butuh bantuan otak orang lain.
5.
Kekeliruan devisi ; kekeliruan yang dilakukan bila bernalar dari sifat-sifat
suatu keseluruhan ke sifat-sifat bagian-bagiannya.
Contoh ; ”Si A
mestinya sudah menjadi hakim agung, karena dia memiliki kemampuan di segala bidang
pengetahuan dan pengalaman”.
Nalar kita tentu
berkata bahwa tidak semua orang yang menjadi hakim agung mempunyai kemampuan di
segala bidang pengetahuan dan pengalaman.
6.
Kekeliruan argumentum ad populum ; kekeliruan yang dilakukan bila suatu kesimpulan
dikemukakan bukan dengan evidensi, tetapi dengan menggunakan bahasa yang
menggugah perasaan.
Contoh ; ”Tuada
Uldilag menghimbau kepada hakim-hakim Pengadilan Agama untuk ikut dalam program
studi S3, tetapi pada saatnya reputasi gemilang seorang hakim tetap menurun,
karena lemah pengetahuannya dalam bidang teknis justisial dan pola bindalmin”.
Nalar kita berkata,
kalau sudah masuk dalam program studi S3 tidak boleh lagi lemah pengetahuan
dalam teknis justisial dan pola bindalmin.
7. Kekeliruan reifikasi atau hipostatisasi ; kekeliruan terjadi
dengan membuat sesuatu dari yang bukan sesuatu dan menarik kesimpulan darinya.
Salah satu bentuknya yang umum adalah personifikasi.
Contoh ; Aneka ragam pertanyaan tim penguji kepada promovendus, menambah
semarak jalannya ujian terbuka tersebut. Mereka berbicara dalam bahasa
filsafat.
Nalar kita berkata, semaraknya ujian terbuka, bukan karena bahasa filsafat,
tetapi ratusan warga Peradilan Agama yang datang berbondong-bondong memenuhi
auditorium UGM, karena yang ujian terbuka adalah Tuada Uldilag.
8. Argumentum ad baculum ( argumen dengan tongkat) ; kekeliruan yang dilakukan
bila seseorang menggunakan kekuasaan atau ancaman guna mendapatkan persetujuan
atas kesimpulan yang dibuatnya.
Contoh ; Kalau ada
pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bertemu dengan seorang
koruptor dan makan bersama di restoran, maka bubarkan saja KPK.
Nalar kita berkata,
apakah kalau ada orang yang jahat dalam sebuah lembaga seperti KPK, maka KPK
harus dibubarkan. Apakah kalau ada hakim yang nakal, maka dibubarkan saja MA
(Mahkamah Agung).
9.
Argumentum ad Hominen (argumen tunjuk langsung orang) ;
kekeliruan yang dilakukan bila seseorang mengarahkan
argumennya kepada orang dan bukan kepada pokok masalah.
Contoh ; Memori
banding yang dibuat oleh kuasa hukum pembanding, hanya isapan jempol, karena ia
hanya asal bicara saja, dan pandai bersilat lidah.
Nalar kita
berkata, apakah betul memori banding pembanding tersebut, tidak memiliki sekucil
apapun dari segi aspek hukum ?
10. Argumentum
ad misericordiam (argumen minta kerahiman) ; kekeliruan yang dilakukan ketika
dimintakan kerahiman seseorang, guna menerima kesimpulan dan bukan bukti.
Contoh ; Jika diangkat menjadi KPTA, X akan memimpin PTA dengan baik. Dia telah
berkorban banyak dalam membangun PA di daerah ini dan telah berjuang keras
dengan pihak pemerintah daerah.
Nalar kita berkata, apa hubungannya antara jabatan KPTA dengan kontribusi
perjuangan X dengan pemda di daerah tersebut ?
11.
Kekeliruan pertanyaan kompleks ; kekeliruan yang dilakukan ketika tidak
diketahui bahwa jawaban untuk suatu pertanyaan tertentu mengandaikan suatu
jawaban sebelumnya untuk pertanyaan sebelumnya.
Contoh ; Adakah sejarahnya PTWP PTA menjuarai Mahkamah Agung Cup ?
Nalar kita berkata, apakah PTWP PTA tidak layak untuk menjadi juara dalam
Mahkamah Agung Cup ?.
12.
Kekeliruan hipotesis kompleks ; kekeliruan yang dilakukan, ketika dari dua
hipotesis, diangkat yang lebih kompleks. Padahal hipotesis yang kurang
kompleks, cukup memadai untuk menjelaskan sebuah fakta.
Contoh ; Mengapa PTA harus memanggil hakim-hakim PA, bila ditemukan ada
kekeliruan/kesalahan (satu hipotesis) dalam putusannya. Putus sela saja untuk
pemeriksaan tambahan sesuai kewenangannya (satu hipotesis).
Nalar kita berkata, apakah PTA hanya memiliki fungsi justisial. Bukankah PTA
memiliki pula fungsi pembinaan ?.
13.
Kekeliruan hitam putih ; kekeliruan ini dilakukan ketika kita diberitahu untuk
memilih antara dua alternatif dan tidak dipedulikan alternatif lainnya, padahal
masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan.
Contoh ; Anda memilih karir untuk diangkat sebagai KPA di luar Jawa atau tetap
akan melanjutkan kuliah S3 di Unisba ?
Nalar kita berkata, apakah tidak ada kemungkinan saya diangkat menjadi KPA di
daerah Jawa Barat atau saya diangkat sebagai KPA yang ada program S3
untuk sekolah yang lain .
14. Kekeliruan
argumen spekulatif ; kekeliruan yang terjadi dengan mengangkat sebuah hipotesis
yang berlawanan dengan fakta, dan kemudian mengatakan benar apa yang menjadi
kesimpulannya.
Contoh ; Kalau mau efektif pemberantasan korupsi di Indonesia, maafkan koruptor
atau putihkan kasus-kasus korupsi, kembalikan uang negara dan bayar pajak dari
uang korupsi itu.
Nalar kita berkata, apa betul dengan cara itu, pemberantasan korupsi bisa
diatasi secara efektif ? Apakah koruptor tidak bertepuk tangan dan tertawa
terbahak-bahak ?.
15.
Kekeliruan contradictio in adjecto ; kekeliruan yang dilakukan bila sebuah
sifat tidak konsisten dengan kata benda yang diterangkannya.
Contoh ; Semua hakim pengadilan, nakal.
Nalar kita berkata, apakah tidak ada hakim pengadilan yang tidak nakal.
Tentu yang nakal hanya oknum tertentu saja.
Dari beberapa contoh argumen yang keliru di atas, menyebabkan
lahirnya penalaran yang keliru dan pada akhirnya akan
melahirkan pula kesimpulan yang keliru. Kiranya sebagai warga pengadilan,
terutama hakim sedapat mungkin terhindar dari nalar dan penalaran yang keliru,
terutama dalam membuat reasoning pertimbangan hukum. Dan ketika hakim tingkat
pertama salah dalam penalaran hukum, maka hakim tingkat banding berkewajiban
meluruskan atau membenarkan penalaran hukum yang keliru itu. Demikian pula
hakim agung, wajib hukumnya untuk meluruskan penalaran yang keliru yang terjadi
di peradilan di bawahnya, sebab sesuai praktek di persidangan, hakim salah
dalam menerapkan hukum pada umumnya disebabkan karena salah dalam mengemukakan
argumentasi hukum dalam nalar dan penalaran.
VII. Penalaran Dalam Pertimbangan Hukum
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penalaran merupakan suatu proses berpikir
logis, artinya berpikir menggunakan cara atau metode tertentu yaitu logika.
Pada dasarnya penalaran hukum merupakan kegiatan berpikir problematis[7], sehingga kegiatan berpikir berada dalam
wilayah penalaran praktis. Sebagai contoh ; hakim pada saat bersidang
menggunakan hukum acara, pada saat ini hakim selalu berusaha sesuai dengan
hukum formal dan pada saat yang sama, ia selalu berpikir problematis dan
menggunakan penalaran praktis. Demikian pula ketika hakim akan menerapkan hukum
materiil, pada saat ini hakim pun selalu berusaha menggunakan ketentuan hukum
yang tepat pada kasus tersebut. Di sini pun hakim selalu berpikir
problematis dan harus menggunakan penalaran praktis.
Studi penalaran hukum atau argumentasi yuridis yang berintikan hubungan antara
hukum dan logika, mulai berkembang pada tahun 1980-an dan memperoleh perhatian
besar tahun 1990-an. Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum
khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the
power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama,
yakni : Merumuskan, masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya
(legal problem solving),dan terakhir mengambil keputusan[8].
Menurut Kenneth J. Vandevelde, secara epistimologis penalaran hukum terdiri
dari lima langkah, yaitu ;
1.Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya
berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the
applicable sources of law)
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menerapkan
aturan hokum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the
souces of law)
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam
struktur yang koheran, yakni strktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di
bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law in to a coherent
structure)
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the
available facts)
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada
fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta
itu dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam
hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts)[9]
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa penalaran hukum merupakan
keseluruhan tahapan berpikir dari ; identifikasi perkara, aturan hukum,
pengujian dengan teori kebenaran serta membuat formulasi konklusi dan solusi.
Penalaran hukum digunakan sebagai alat menyusun argumen-argumen pada
pertimbangan hukum putusan. Argumen-argumen tersebut menggiring alur pikir yang
dibangun hakim untuk menjatuhkan putusan, sebagaimana yang tertuang dalam amar
putusan. Penerapan penalaran hukum dalam pertimbangan hukum dapat
membimbing para pencari keadilan untuk mengetahui, memahami pemikiran dan
pendapat hakim dalam memutus perkara[10]
Dengan penalaran yang benar, suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui
logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan benar tidaknya suatu
peristiwa atau suatu dalil gugat. Sebaliknya pertimbangan hukum yang tidak
menggunakan penalaran yang benar, dapat membingungkan pencari keadilan dalam
memahami putusan pengadilan. Pemikiran dapat dikatakan tepat, jika jalan
pikiran sesuai dengan keteraturan berpikir, sebagaimana disebutkan dalam
logika. Ukuran pemikiran yang benar bukan karena rasa senang dan enak didengar
atau tidak, melainkan sesuai dengan fakta yang ada.
Syarat pokok suatu penalaran yang dapat menghasilkan kesimpulan yang benar,
adalah pemikiran harus berpangkal dari teori atau kenyataan serta titik
pangkalnya harus benar, alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat dan
jalan pikiran harus logis[11].
Penerapan penalaran induktif dan deduktif seorang hakim dalam pertimbangan
hukum, terhadap suatu putusan tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat berperan
dalam proses mencari dan menarik kesimpulan yang benar. Secara teoritis,
penalaran deduktif bertolak dari aturan hukum yang berlaku pada kasus
individual secara konkret dan digunakan untuk mendapatkan kesimpulan dari hal
yang bersifat umum kepada kasus yang bersifat individual. Pada tahap menggali
fakta hukum dengan memeriksa surat-surat bukti ataupun saksi-saksi yang
diajukan di persidangan. Ketika hakim mempertimbangkan dalam pertimbangan
hukumnya, bahwa berdasarkan surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi
Penggugat atau Tergugat yang dihubungkan dengan dalil-dali Penggugat atau
sangkalan Tergugat, kesemuanya telah bersesuaian satu sama lain dan
menyimpulkan bahwa pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum telah terpenuhi,
adalah menggunakan penalaran induktif. Dalam hal pertimbangan hukum, hakim
menyatakan bahwa dengan demikian dalil gugatan Penggugat dapat dikabulkan atau
ditolak, adalah menggunakan penalaran deduktif.
VIII. Argumentasi Dalam Pertimbangan Hukum
Esensi argumentasi dalam pertimbangan hukum, merupakan alasan dan dasar bagi
hakim dalam menjatuhkan putusannya, baik karena menggunakan pendekatan
normatif, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun
karena sifatnya sosiologis (pendekatan kemanfaatan) dan sifatnya folosofis
(pendekatan keadilan). Menurut Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 ;
”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Argumentasi hukum merupakan jenis penalaran yang melibatkan proses intelektual
insan hukum dalam menjustifikasi rasionalita, konsistensi logika dan
konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan suatu problem
permasalahan (perkara). Argumentasi hukum yang rasional (Drie niveaus van
rationale juridische argumentatie), terdiri dari tiga lapisan antara lain ;
1. Lapisan logika, lapisan ini merupakan struktur
intern dari suatu argumentasi, juga bagian dari logika tradisional. Isu yang
muncul berkaitan dengan premis-premis yang digunakan dalam menarik suatu
kesimpulan logis dan langkah dalam menarik kesimpulan, misalnya deduksi dan
analogi
2. Lapisan dialektik, lapisan ini membandingkan
argumentasi pro dan argumentasi yang kontra. Ada dua pihak yang berdialog atau
berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban karena sama-sama
kuatnya.
3. Lapisan prosedural (struktur, acara penyelesaian
sengketa) ; Prosedur tidak hanya mengatur perdebatan, tetapi perdebatan itupun
menentukan prosedur. Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada aturan main
yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat
penyelesaian sengketa yang jelas. Dengan demikian terdapat saling keterkaitan
antara lapisan dialektik dan lapisan prosedural[12].
Menurut Bernard Arief Sidharta, argumentasi hukum terdiri dari unsur discourse
hukum, retorika hukum dan logika hukum, sehingga melibatkan penerapan
perangkat kaidah logika formal dan metode pemaparan jalan pikiran yang lain[13].
Ada beberapa sebab kegagalan argumen, antara lain ;
1. Memuat premis (pernyataan) dari proposisi yang
keliru. Jika premis keliru, argumen tersebut akan gagal dalam menetapkan
kesimpulan
2. Kegagalan dapat terjadi karena argumen ternyata
memuat premis-premis yang tidak berhubungan dengan penarikan kesimpulan
3. Penalaran yang disebabkan karena kecerobohan dan
kurangnya perhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait[14].
Oleh karena itu dalam menyajikan argumentasi hukum sebagai manifestasi
pertanggungjawaban, argumentasi disusun dengan menggunakan penalaran hukum,
baik secara deduktif maupun induktif. Jadi pada awalnya hakim itu mutlak
menggunakan penalaran deduktif, yaitu dengan memuat pasal-pasal sebagai dasar
putusan. Selanjutnya ia menggunakan lagi penalaran induktif dengan memaparkan pokok-pokok
kejadian konkret dan disusun secara sistematis, sehingga memberikan gambaran
kejadian yang sebenarnya.
Tahap berikutnya hakim menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan
mendasarkan berbagai teori hukum yang relevan. Dengan mendasarkan pada
teori-teori yang relevan dan rasional, argumentasi hukum yang dikemukakan
secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesimpulan yang
didasarkan pada argumentasi hukum yang tepat ini dinamakan pendapat hakim dalam
putusan. Jika pertimbangan hukum telah dibuat dan dilakukan analisis dengan
menggunakan metodologi yang tepat, sehingga putusan dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis.
IX. Sistimatika Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum pada esensinya merupakan pertanggungjawaban yuridis atas
perkara yang disidangkan oleh hakim dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Sebagai pertanggungjawaban, pertimbangan hukum harus disajikan secara alur dan
runtut serta intedependensi, artinyaharus sistimatis dan kronologis.Jadi
semua kerangka penalaran reasoning yang terurai dalam pertimbangan hukum
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maksud dan
tujuan mensistematisir pertimbangan hukum, agar para pencari keadilan mudah
memahami isi putusan tersebut. Kedudukan pertimbangan hukum, merupakan bagian
putusan yang paling penting dan menentukan. Secara substansial memuat uji
korelasi dan penilaian majelis hakim terhadap perkara yang disidangkan dengan
menggunakan penalaran hukum yang benar dan tepat.
Uraian sistematika pertimbangan hukum, banyak referensi yang bisa dijadikan
acuan, antara lain misalnya oleh ; Prof. Paulus Latulung, Ellyana Tansah,
L.J. Ferdinandus, M. Taufiq dan lain-lain. Namun yang sangat sederhana dan
mudah dipahami, seperti yang telah diuraikan oleh M. Taufiq, dalam
bukunya yang berjudul ”Meningkatkan Mutu Keputusan Peradilan Agama”, yang pada
pokoknya memberikan uraian sebagai berikut ;
1. Dalil gugatan Penggugat dalam surat gugatan,
merupakan informasi dari Penggugat dan jawaban Tergugat juga merupakan
informasi dari Tergugat, yang biasa disebut dengan fakta biasa.
2. Dalil gugatan Penggugat yang diakui oleh Tergugat
bukan merupakan pokok masalah, sehingga tidak perlu dipertimbangkan lebih
lanjut sebagai suatu sengketa
3. Dalil gugatan Penggugat yang dibantah oleh
Tergugat, merupakan pokok masalah, sehingga harus dipertimbangkan lebih lanjut
sebagai suatu sengketa
4. Rumusan pokok masalah tersebut harus ditentukan
lebih awal, dalam suatu bentuk kalimat yang singkat, sederhana dan
konkret. Biasanya menggunakan kalimat tanya, namun bisa pula tidak menggunakan
kalimat tanya.
5. Pokok masalah tersebut ; harus disertai dan dengan
diuji dengan alat bukti-alat bukti yang diajukan oleh para pihak di persidangan
6. alat bukti-alat bukti yang diajukan itu ;
berdasarkan pembebanan pembuktian oleh hakim kepada para pihak yang berperkara.
7. Berdasarkan alat bukti-alat bukti tersebut ; ada
dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu ;
a. Memperkuat atau memperlemah dalil gugatan
b. Memperkuat atau memperlemah dalil-dali sangkalan.
Dan itulah merupakan fakta hukum di persidangan
8. Fakta hukum itu ; lahir dari nilai alat bukti yang
terungkap di persidangan
9. Penerapan hukum ; bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataupun sumber-sumber hukum lainnya yang
diambil oleh hakim, dengan berdasar pada fakta-fakta hukum
10. Amar putusan ; merupakan jawaban dari petitum yang
dijatuhkan oleh hakim, berdasar pada penerapan hukum yang ada.
Bagaimana halnya, jika Tergugat tidak pernah hadir di persidangan dan tidak
mengajukan tanggapan ataupun jawaban, sehingga hakim sulit untuk merumuskan
pokok masalah. Dalam situasi seperti ini, bukan pokok masalah yang dirumuskan,
tetapi yang dirumuskan adalah pokok gugatan yang sudah tentu dimaksudkan dalam
rangka persiapan kemungkinan dijatuhkannya putusan verstek. Sebagaimana
diketahui yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah rumusan atau resume
dari uraian posita dan petitum dalam surat gugatan. Sedangkan yang
dimaksud dengan pokok masalah adalah hasil rumusan dari gugatan dan
sangkalan atau bantahan gugatan dalam pokok perkara.
X. Amar Putusan
Esensi amar putusan adalah merupakan jawaban hakim atas petitum Penggugat atau
jawaban atas petitum Tergugat, baik yang diajukan dalam gugat pokok perkara,
maupun yang diajukan dalam jawaban, eksepsi ataupun rekonvensi. Substansi amar
putusan merupakan perintah atau pernyataan sikap hakim dalam mengadili dan
memutus perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga apabila petitum gugatan
Penggugat didukung dengan posita gugatannya, maka amar putusan hakim harus
mengabulkan gugatan tersebut. Sebaliknya apabila suatu petitum tidak didukung
oleh positanya, maka amar putusan harus dinyatakan N.O (tidak diterima).
Setiap amar putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus jelas, tegas dan konkret,
jangan sampai mengandung multi tafsir, sehingga menimbulkan interpretasi dan
masalah baru, yang pada akhirnya para pihak yang berperkara tidak menemukan
kepastian hukum dan rasa kadilan.
Apabila ada petitum gugatan, sebagian dikabulkan dan sebagian dinyatakan tidak
dapat diterima serta yang lainnya ditolak, maka dalam amar putusan harus jelas
; petitum mana yang dikabulkan, petitum mana yang tidak diterima dan
petitum mana yang ditolak. Sehingga penulisan amar putusan harus dituangkan
secara lengkap. Hanya dengan cara seperti itu para pihak yang berperkara tidak
bingung dan tidak menggunakan penalaran hukum yang keliru.
XI. Penutup
Begitu pentingnya sebuah penalaran, termasuk penalaran hukum. Maka tidak
satupun orang terlepas dari fungsi dan penggunaan penalaran, baik di kalangan
hakim, advokat ataupun masyarakat pencari keadilan pada umumnya. Dan dalam
penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau penegak hukum lainnya kadang-kadang
memang sering ditemukan salah dalam menggunakan argumentasi hukum dan logika
hukum. Sehingga timbul penafsiran hukum yang keliru. Kekeliruan itu bisa
teratasi melalui pembelajaran, baik secara foramal maupun informal, bahkan
mungkin bisa didapat melalui pengalaman masing-masing. Itulah sebabnya sistem
pembinaan karir hakim yang tepat, bila dilakukan rotasi dan mutasi hakim dari
satu tempat ke tempat yang lain, artinya dari kelas pengadilan yang lebih rendah
ke kelas pengadilan yang lebih tinggi. Ini artinya memberi kesempatan kepada
hakim yang bersangkutan untuk menambah pengalamannya dalam berkarir di
lingkungan peradilan.
Keliru memang bila sistem pembinaan karir hakim
; ada hakim yang diberi tugas sejak ia menjadi hakim rendahan
sampai ia menjadi hakim tinggi, hanya bertugas di satu tempat tertentu dan
tidak pernah dimutasi ke tempat lain, karena hakim seperti ini dapat
dipastikan akan kurang pengalaman dan kurang pula pengetahuan. Mereka akan
sadar dan merasakan betapa kekurangan itu pada saatnya nanti. Namun bila waktu
telah berlalu, tidak akan mungkin akan kembali lagi.
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Bina
Ilmu Offset, Surabaya, 2008.
Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Juhaya S.Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika,
Prenada Media, Jakarta, 2008.
Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, Pustaka
Book Publisher, Jogyakarta, 2007.
Mohammad Zamroni, Filsafat
Komunikasi; Pengantar Ontologis, Epistomologis, Aksiologis, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2009.
Poerwandari, K,
Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3. Jakarta,2005.
Philipus M.Hadjon dan
Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, GajahMada Press, Yogyakarta,
2005.
Shidarta, Karakteristik
Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006.
Ujian terbuka promovendus Andi Syamsu Alam, UGM,
Jogyakarta, 12 Juli 2011.
W. Poespoprodjo, dan
EK.T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Pustaka Grafika, Bandung, 1999.
[1]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2001, hlm.772
[7]
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, CV.
Utomo, Bandung, 2006, hlm. 155.
[8]
Sudikno Mertokusumo Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan, dalam
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Kofonteks Keindonesiaan, CV.
Utmo, Bandung, 2006, hlm. 196.
[9]
Kenneth J.Vandevelde, Thinking Like A Lawyer ; An Introduction to Legal
Reasoning, Westview Press, Colorado, 1996, hlm, 2.
[11]W.
Poespoprodjo, dan EK.T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Pustaka Grafika,
Bandung, 1999, hlm.20.
[12]Philipus
M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, GajahMada Press,
Yogyakarta, 2005, hlm. 18.
0 komentar:
Posting Komentar