A. Sistem Peradilan Pidana dan HAM
Salah satu perkembangan yang menjadi isu
Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya
Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan
Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan
yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang
tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana
dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju,
negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip
hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat
dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Sebagaimana tercantum dalam “Law and the
Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay,
halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game:
Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg,
dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar
pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin
merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan
oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak
menyadari. Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan
pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun
selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga
bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan.
Lembaga pengadilan menentukan peran bagi
pengacara atau pembela dalam suatu kasus kriminil yang sangat berbeda
dengan yang digambarkan secara tradisional. Para sosiolog antara lain
telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak dan ketidak
mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai sumber
dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih
banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu
sendiri. Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas
birokrasi dan administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan
serangkaian tuntutan dan kondisi praktek pada profesi masing-masing
dalam peradilan pidana, dimana mereka menanggapi dengan melepaskan
ideologi dan komitmen profesional mereka terhadap terdakwa yang menjadi
klien mereka dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari
organisasi pengadilan. Semua personel pengadilan, termasuk pengacara
terdakwa cenderung dipilih menjadi “agent-mediator” yang membantu
terdakwa menentukan kembali situasinya dan menyusun kembali persepsinya
sejalan dengan kesalahan.
B. Lembaga Peradilan dan Peran Pengacara
Abraham S. Blumberg dalam “Law and the
Behavioral Science (1967) menyatakan, bahwa lembaga peradilan memberi
peran bagi lembaga bantuan hukum atau para pengacara pembela dalam suatu
kasus kriminal. Dan para pengacara ini diberikan status khusus dan
kewajibannya selain sebagai “Agent Mediator” yang membantu terdakwa
menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan.
Dari penelitian yang dilakukan bahwa para
pengacara ini umumnya dibagi dua, yakni Pengacara Tetap dan pengacara
Tidak Tetap. Pengacara tidak tetap kehadirannya sesuai dengan
kepentingan para kliennya saja. Sedangkan pengacara yang tetap ini
selalu hadir dan menjaga hubungan yang baik kepada semua tingkat
personal di pengadilan sebagai upaya untuk memelihara dan membangun
prakteknya.
Hubungan informalnya itu juga sebagai
upaya untuk merundingkan permohonan dan hukuman. Kunci untuk memahami
peran pengacara dikemukakan oleh Abraham S. Blumberg dalam kasus
kriminal, ialah penetapan biaya yang ditentukan, dan pekerjaan yang
berhubungan dengan hukum tidak dapat diraba karena berupa jasa sehingga
seolah-olah akan tampak bahwa profesi itu tidak pantas untuk mendapat
bayaran.
Tentang jumlah pembayaran merupakan suatu
fungsi dari nilai suatu kejahatan, oleh sebab itu para pengacara selalu
mempertahankan ketegangan dari kliennya untuk terus membangkitkan
kecemasan mereka. Dengan demikian maka akan terdorong untuk segera
membayar. Sehingga berakibat bahwa hubungan antara pengacara, klien dan
pengacara lawannya diwarnai dengan suatu sifat permusuhan, rasa curiga,
ketergantungan dan penghasutan.
Para pengacara sering pula dituduh
menyebabkan jalannya perkara menjadi rumit, dan sering mereka hanya
mencari kepentingan pribadi dari kliennya, dan para pengacara inipun
sering menjadi agen rangkap dari klien dan juga peradilan, kemudian
sebagai agen rangkap pengacara pembela melakukan misi yang benar-benar
penting bagi organisai peradilan dan tertuduh. Kedua prinsip ini
dimaksudkan untuk menghindari jalannya perkara, dalam hal ini hakim akan
bekerjasama dengan Pengacara dalam beberapa hal penting, misalnya
menangguhkan kasus terdakwa di penjara, dan menunggu pembelaan atau
hukum jika pengacara meminta terdakwa yang demikian. Dengan cara ini
hakim memberi kesempatan untuk agar pengacara memperoleh bayarannya.
Pengacara juga bisa minta penangguhan kepada hakim. Jadi tujuan akhir
dari adegan ini adalah untuk melindungi bayaran pengacara. Bahkan hakim
akan menolong pengacara ini dengan meminjamkan kantor dan ruangan
pengadilan (Abraham S. Blumberg, 1967: 122 – 123).
Dalam kenyataannya peran pengacara ini
sangat dominan dan diperlakukan istimewa kehadirannya, suka atau tidak
suka, terlebih lagi pada negara-negara yang masih mengalamii sela-sela
kelemahan hukum itu. Biasanya para pengacara kebanyakan meminta bayaran
di muka sebagai biaya operasional. Dan juga selalu mengatakan pada
kliennya untuk bersiap-siap menerima kekalahan setelah mendapatkan
bayaran tersebut.
C. Beberapa Model dalam Proses Peradilan Pidana
Herbert L. Packer dalam bukunya yang
terkenal “The Limits of the Criminal Sanction (1968); mengemukakan bahwa
ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model
(CCM), dan Due Process Model (DPM). Kedua model tersebut di atas yang
disoroti adalah sebuah usaha yang memberi petunjuk operasional terhadap
kompleksnyanilai-nilai yang mendasarinya. Hukum pidana sebagaimana
disarankan oleh Packer adalah untuk menentukan dua sistem nilai yang
berlawanan, yakni suatu ketegangan dari yang terlibat dalam hal ini,
yaitu para pembuat undang-undang, hakim polisi, pengacara dan penuntut
umum, dimana masing-masing nilai menjadi gambaran bagi pihak yang
terlibat dan selalu bertentangan pada setiap gerak sesuai dengan waktu
dan tokoh yang diwakili pada tiap proses kriminal itu. Adapun
nilai-nilai tersebut merupakan suatu alat bantu analisis dan
pertentangan kedua model itu tidak absolut dan merupakan abstraksi dari
masyarakat Amerika, serta merupakan suatu cara pemeriksaan tentang
bagaimana suatu perundang-undangan itu berjalan atau diterapkan dalam
Peradilan Pidana di Amerika (Packer, 1968: 197).
Kedua model tersebut di atas oleh Packer
bukanlah label dari Das Sollen dan Das Sein, tetapi diartikan sebagai
suatu hal yang mana baik dan tidak baik atau ideal, kedua model ini
sebagai cara untuk memudahkan, bila membicarakan tentang tata kerja
suatu proses yang dalam pelaksanaan sehari-hari melibatkan suatu
rangkaian yang terjadi dalam proses peradilan pidana. Adapun nilai dasar
dari kedua model itu yakni bahwa peraturan perundang-undangan itu harus
ada terlebih dahulu perumusannya sebagai suatu tindak pidana yang
diancam dengan pidana setiap pelanggarannya. Dan sebelum seseorang
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka peraturan
perundang-undangan yang dibuat itu menjadi dasar utama bagi penegak
hukum dalam penerapannya.
Jika ternyata terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan Perundang-undangan itu, maka pelaku tindak pidana
harus diproses oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk mengabil
tindakan hukum sejak tahap pengangkatan, penahanan, sampai diadakan
penuntutan di pengadilan. Kemudian dari kewenangan yang diberikan itu
oleh Perundang-undangan, maka aparat penegak hukum dalam mengabil
tindakannya terhadap tersangka harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tersebut. Hak tersangka harus dihormati
dan perlakuan terhadapnya tidak boleh sewenang-wenang.
Hal yang penting dikemukakan oleh Packer
selain beberapa asas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu
tersangka tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai obyek pemeriksaan
semata-mata, oleh karenanya Jaksa mempunyai kewajiban untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, karena berkenaan dengan posisinya sebagai Penuntut
Umum.
Adapun ciri khas dari crime control model
itu ialah sangat mengandalkan “Profesionalisme” untuk mencapai
effisiensi yang tinggi. Penanganannya dengan memakai atau menggunakan
Assembly Line (ban berjalan). Karena profesional yang merupakan
sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan
kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini
memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi.
Sehingga untuk menghindari hambatan dari
proses pidana itu maka kewenangn kebijakan dari penegak hukum itu
seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model
ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak
menghormati hak asasi manusia.
Kemudian model yang kedua yakni Due
Process Model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif
kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus
ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt. Kemudian
selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus
diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati
undang—undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap
orang di depan hukum (Quality Control). Sehingga model ini dikatakan
orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia.
Pada Due Process Model, sangat diperlukan
peranan Bantuan Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk
mendampingi tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun
tentunya di pengadilan. Sehingga para tersangka merasa tenang dalam
pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan, paksaan dan
penyiksaan. Walaupun disadari bahwa kehadiran bantuan hukum itu
mengakibatkan biaya bertambah mahal dan jalannya suatu perkara menjadi
agak lama. Namun di pihak lain dapat pula menjamin hak asasi manusia.
Pada model lain dari proses peradilan pidana dikemukakan oleh John
Griffith dalam “The Third Model of Criminal Process” (1970, dengan
terlebih dahulu mengadakan telaah dari kedua model yang dikemukakan oleh
packer. Maka menurutnya bahwa kedua model itu tidak membawa pada
pemahaman yang tepat mengenai masalah-masalah hukumacara pidana. Ia
mengatakan bahwa Family Model itu tersebut juga sebagai model
pertempuran, dengan dasar utamanya ialah untuk mendamaikan
kepentingan-kepentingan yang sama. Family Model ini sangat banyak
mengakui harkat dan martabat manusia dan hal itu tidak dikaitkan dengan
asas Presumption of Innocent, dan pada model inipun memerlukan peran
pengacara. Pada bagian lain Griffith mengemukakan suatukasus Armstead,
dimana persoalannya adalah seseorang yang belum dipidana belum
dinyatakan bersalah, meskipun seseorang itu dinyatakan bersalah namun
harus tetap dihormati, semua orang meski berhak untuk diperlakukan baik.
Di sini ada suatu perwujudan hak asasi manusia (Griffith, 1970: 359 –
383).
Untuk Indonesia yang mengakui dan
melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi dari mereka yang
disangka atau didakwa telah melalukan suatu tindak pidana. Dalam bidang
hukum acara pidana yang berlaku, perlindungan terhadap hak asasi manusia
itu telah diberikan oleh negara, misalnya dalam bentuk hak-hak-hak yang
dimiliki oleh tersangka/terdakwa selama proses penyelesaian perkara
pidana.
D. Penutup
Pemberian beberapa hak-hak tertentu
kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan
salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana.
Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan
kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general
framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara
Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31).
Salah satu hak yang diberikan kepada
tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak
untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti
mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk
segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang
seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain.
Bila dilihat sejarah hukum acara pidana
di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi
tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan
hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut
dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak
tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut
pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk
menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan
Negeri.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi
tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya
diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut
dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua
tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
Undang-undang”. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi
sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang
menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam
pelaksanaan dari Undang-undang tersebut (Loebby Loqman, 1990: 10).Begitu
pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara
Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan
hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan
acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR
dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak
mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh
seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara
dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh
tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka
dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang
tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum
mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka
adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari
alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka
penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi
karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka
tidak didampingi oleh penasehat hukumnya.
Mengantisipasi akses tersebut serta
karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi
kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan
sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada
tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak
pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi
seorang penasehat hukum.
Berdasarkan UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan :
a.
tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai;
b.
terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52
Dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas keapada penyidik atau
hakim.
Pasal 53
(1)
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka
atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna
kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1)
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima
belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2)
Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1)
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2)
Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya
dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58
Tersangka
atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada
hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka
atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain
yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang
bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka
atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau
terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun
untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
Pasal 61
Tersangka
atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal
yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk
kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1)
Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat
hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga
setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka
atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
(2)
Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya
atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum,
hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup
alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan.
(3)
Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau
diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan
negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat
tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang
berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka
atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa
atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Blumberg, Abraham. S. 1967, The Practice of Law as Confidence Game: Organizational Cooptation of a Profession. University of New York.
Friedman, Wolfgang, 1949. Legal Theory. London: Stevens & sons Limited
Friedman, Lawrence M & Stewart Maculay. 1969. Law and Behavioral Science. Indianapolis : The Boobs Merrill Company Inc.
Griffith, John. 1970. The Third Model of Criminal Process.
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressiondo.
Seno Adji, Oemar, 1994, KUHAP Sekarang, Jakarta, Erlangga.
Hullsman, H.C. 1984. Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana. Penyadur: Soedjono Disdjosisworo. Jakarta : Rejawali Pers.
Packer, Herbert. L. 1968. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press.
0 komentar:
Posting Komentar