Peradilan
pada hakekatnnya menyangkut mengenai proses untuk mencari suatu
keadilan dan kebenaran, sedangkan peradilan merupakan tempat dimana
keadilan dan ketertiban diproseskan sehingga ada pemutusan dan penetapan
sesuai dengan “Dharma Hukum” (keadilan dan kebenaran)
Landasan berlakukanya Peradilan Desa pada hakikatnya, didasarkan pada:
1. Landasan Filosofis
Dalam
landasan filosofis menelaah mengenai dimana, bagaimana proses keadilan
dan peradilan didapatkan. Dalam kalimat mana hal tersebut dikomulasi
atau dipampang dalam putusan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Oleh Van Hattum
mempertannyakan apakah keadilan itu sendiri sudah memenuhi syarat
Ketuhanan Yang Maha Esa, disini misalnya perbedaan pidana terhadap kasus
pencurian pratima dengan kasus pencurian uang Rp. 800.000,00. Menngenai
pemindanaan kasus pencurian pratima hanya dikenakan pidana selama 3
bulann, sedangkan pencurian uanng Rp. 800.000,00 pidananya lebih berat.
Disinilah yang dimaksud bahwa keadilan itu sendiri belum memennuhi
ketuhanan yang maha esa.
2. Landasan Sosiologis
” UBI SOCIETAS, IBI JUS“ , yang artinya di mana ada masyarakat, di situ harus ada hukum (aturan). Tidak ada masyarakat tanpa hukum/aturan. Dimana
dalam landasan sosiologis lebih menekankan pada bagaimana suatu
kelembagaan dalam masyarakat menemukan keadilan masyarakat tersebut
dalam persekutuan masyarakatnya.
3. Landasan Yuridis
Landasann yuridis berpedoman pada “Hukum Nasional”, dimana tertuang dalam UU Drt No. 1 Pasal 3 ayat (2) b, yang berbunyi:
Hukum
materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana
sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan
orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku
untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar
kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau
denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras
lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Selain itu landasan yuridis juga berpedoman pada “rechterlijke organization”
(RO) Pasal (3) a. Putusan oleh Negara, Pengadilan Negeri, Mahkamah
Agunng sebaiknya melampirkan Putusan Adat, sebagai perbandingan dasar
pemberian pidana. Putusan Hukum Adat dibuat oleh Persatuan Hukum Adat.
Dimana kewenangan dari Persatuan Hukum adat yakni, menetapkan dan
merancang peraturan Hukum Desa tersebut.
Di
Bali dan Jawa menyebutkan lembaga Negara dengan sebutan “Desa”, namun
oleh masyarakat Bali kata pennyebutann Desa lebih dikenal dengan sebutan
Desa Pekraman. Unsur-unsur kesatuan masyarakat Hukum Adat menurut Ter
Haar, yakni:
1. Tatananya tetap, dalam artian memiliki system atau struktur organisasi atau kelembagaann yang tetap
2. Adanya anggota atau pengurus dalam kelembagaan atau organisasi tersebut
3. Adanya kekuasaan atau otonomi, dimana dalam pemilihan seorang pemimpin didasarkan pada pengalamann, usia dan pengetahuan.
4. Suatu desa harus memiliki harta kekayaan, baik materiil maupun imateriil
5. Tidak adanya keinginan untuk membubarkann diri
6. Adanya kasta kahyangan, dimana dikualifikasikan menjadi 3, yakni:
a. Pura Dalem
b. Pura Puseh
c. Pura Desa
Secara umum di Indonesia terdapat 5 unsur yang sifatnya absolute atau mutlak yakni, unsur dari nomor 1 sampai dengan nomor 5. Dilihat dari sudut ekonomi, maka kekuasaan ekonomi berkaitan denngan “Trias Politica” , yakni:
1. Legislatif (bertugas membuat aturan atau udang-undang)
Di bali yang bertugas unntuk membuat unndanng-undangatau aturan, yakni “Pararem”
2. Eksekutif (bertugas melaksanakan aturann atau undang-undang)
Di Bali badan legislatif dikenal dengan “Sangkep Desa Pekraman”,
dimana pendapat yang memiliki dukungan tertinggi , maka pendapat itu
yang memiliki dukungan tertinggi). Dimana dalam pelaksanaanya dipimpin
oleh seorang pimpinan Majelis yang disebut dengan “Klian”
3. Yudikatif (bertugas untuk mengawasi dan menegakkan pelaksanaan aturan atau undang-undang)
Di Bali “Persun” yang dianggap mengerti dan memahami aturannn atau undang-undang yang ada. Dimana istilah penngadilan dikenal dengan sebutan “Kerta Banjar” (Banjar), “Kerta desa”
(Desa), sistem peradilannya bersifat tertutup dan tidak ada penundaan,
layaknya siaing pleno yang dalam pelaksanannya bertahap (ada penundaan).
System peradilannya yakni dari kertha diteruskan ke sangkepann
(penyerthan), kemudiann diteruskan ke “Nyilis” (kecamatan), dan terakhir
ke “Nyelis” (Provinsi).
0 komentar:
Posting Komentar