Kebingungan akan parameter demokrasi itu
sejauh mana, kerap kali dijumpai ketika banyak orang membicarakan makna
demokrasi itu sendiri. Didalam kebingungan dan ketidakpastian, kata
demokrasi itu sering terlontar dari mulut ke mulut, terlebih bagi kita
kalangan mahasiswa yang katanya tergolong sebagai golongan intelektual
muda. Dalam goresan-goresan tinta yang dituangkan dalam buku ini
demokrasi dipandang bukan hanya model pemerintahan melainkan yang paling
penting adalah sebagai penjaga abadi kebebasan dasar manusia. Pertemuan
tradisi demokrasi dan tradisi kebebasan membuahkan sesuatu yang baru,
yang kemudian justifikasi demokrasi pun bergeser dari semata prosedural
ke moral. Dalam demokrasi, koerasi ditekan sampai titik nol, sebab roh
kebebasan dijantung demokrasi menuntut setiap orang diperlakukan sebagai
subjek moral yang setara. Sesuatu dianggap baik bukan karena doktrin
agama dan filsafat tertentu melainkan disepakati secara sukarela.
Gagasan yang penting pendapat Fadjroel
yang pernah menjadi tahanan politik pada masa ORBA sebagai penulis buku
ini bahwa yang diinginkan dalam demokrasi adalah tumbuhnya
manusia-manusia bebas terkait tugas manusia adalah menjadi manusia,
dimana dia berani berpikir sendiri yang selalu didalam kebebasannya dia
memilih serta menentukan hidupnya. Oleh karena demokrasi sebenarnya
bukan tujuan melainkan hanya sebuah sarana, akan tetapi didalam sarana
pun ada prasyarat yaitu bagaimana mungkin kamu menjadi demokrat jikalau
kamu sendiri tidak menghargai iman, kepercayaan, pikiran, kebudayaan.
Jadi dapat disimpulkan emansipasi sosial dan emansipasi individual
adalah tujuan dari semua upaya kita memperjuangkan demokrasi, namun kita
perlu tahu, adalah ilusi jika kita mengira dapat membangun dan
mempertahankan demokrasi itu tanpa adanya kaum demokrat sebagai jembatan
untuk mencapainya. Mereka dibutuhkan demokrasi untuk menahan laju
politik kekerasan dengan senantiasa menyuarakan nilai-nilai demokrasi
dan mengintitusionalisasikannya dalam kerja politik. Kaum demokrat
bertugas menjaga nilai-nilai demokrasi dan intitusionalisasinya dari
mereka yang sekedar menumpang demokrasi untuk meloloskan agenda-agenda
gelapnya. Demokrasi ibarat terang obor yang dijaga nyalanya oleh kaum
demokrat. Dari judul buku ini, menjadi pertanyaan bagi kita semua,
sebenarnya siapakah kaum demokrat yang dimaksud dan apakah pada saat
sekarang Republik tercinta ini masih ada kaum demokrat yang dimaksud ?
Dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi
Tanpa Kaum Demokrat”, M. Fadjroel Rachman menjawab tantangan
menggairahkan dari politik-emansipasi, yang tentu temanya beragam,
meliputi masalah politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan serta menjawab
semua tanya yang tersirat dalam benak pikir kita mengenai siapakah kaum
demokrat itu dan apakah pada saat sekarang Republik tercinta ini masih
punya kaum demokrat yang dimaksud. Karya Fadjroel merupakan polemik
tentang problem transisi demokrasi dan Golongan Putih (baru) dimana para
elite politik berpendapat tidak ada lagi problem transisi demokrasi
setelah tergulingnya rezim fasis-militeristik dan kediktatoran Jenderal
Besar (purn) Soeharto.
Dalam buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat
ini, Fadjroel juga melawan logika pengecualian demokrasi yang bekerja
pada geografi raga, dalam demokrasi menurutnya kita tidak bisa
mementingkan satu kelompok dengan mencibir kelompok lain. Baginya,
terdapat lima arena utama yang saling terkait dalam konsolidasi
masyarakat demokrasi. Mereka antara lain : (1) Masyarakat sipil atau
civil society, (2) Masyarakat politik atau political society (3)
Supermasi hukum atau rule of law (4) Aparatus negara atau state
apparatus (5) Masyarakat ekonomi atau economic society. Dari kelima
kelompok tersebut saling menopang dan saling berhubungan satu sama
lainnya dalam sebuah sistem, satu saja dari kelompok tersebut ditiadakan
maka tidak ada konsolidasi demokrasi dan tidak mungkin dapat
menyelesaikan tahap transisi demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar